Cakrabuana, Syarif
Hidayatullah, dan Kian Santang; Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah
Pasundan
Posted on Jumaah, 4
April 2008 by Ki Santri
Oleh ASEP AHMAD
HIDAYAT
BERBICARA tentang
proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda
yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa
Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang
dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun
tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga
orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah,
dan Prabu Kian Santang.
Sampai saat ini,
masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran
dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan
oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan
beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah
Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal
(cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor
sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses
penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).
Selain faktor yang
telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan
munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan
pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang
Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang
dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi seperti ini sangat membingungkan dan meragukan
setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di
tanah Pasundan tersebut.
Dengan berdasarkan
pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap
misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam
proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini
dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan
Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan
juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang
sejarah Islam di tanah Pasundan.
Sumber-sumber Sejarah
SEBENARNYA banyak
sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam
(Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber
lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah
Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun,
misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita
tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu
pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh
oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum
Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di
daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah
Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan
awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad
Limbangan.
Sumber lainnya yang
dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah
Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam
para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar
Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi
(Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik
(Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di
sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki
hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para
wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab
al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.
Tokoh Cakrabuana
BERDASARKAN sumber
sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah,
dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah
Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata
atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan
Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan
Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan
keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri
merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak
perempuan Kian Santang.
Cakrabuana (atau nama
lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu
Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki
Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi
ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu
Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah
Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh
Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala.
Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak
ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.
Sebelum menjadi
isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan
menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera
Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian
dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang)
bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari
dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi
nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran
yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.
Pondok Quro yang
didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam
(pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok
pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh
Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh
Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan
ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.
Sepeninggal Syeikh
Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh
anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa,
cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah
seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).
Dengan latar belakang
kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu
itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk
menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus
mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita
Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara
Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat
itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan
tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara
Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam.
Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan
nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di
pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara
Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).
Selain berguru agama
Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi
orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai
tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan
tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru
itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari
kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang
kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk
pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi.
Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang,
sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran
Cakrabuana atau Cakrabumi.
Setelah beberapa
tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi
kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah
penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164
wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung
4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang,
dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah
Islam.
Untuk kepentingan
ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau
Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi
nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini
merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon.
Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi
mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh
pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan;
Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang
pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di
Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif
Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah
sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi
ke-17.
Dalam pertemuan itu,
Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara
Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat
gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah
Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran
Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi
mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada
haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya
ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan
Maliki.
Selang beberapa waktu
setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang
bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di
Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran
Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan
kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman
pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana
membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut
diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti
berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan
Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama
Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan
sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.
Mendengar berdirinya
kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu
Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk
melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung
Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia
juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan
menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan
lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru
bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap
orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).
Berdasarkan uraian di
atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan
agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau
Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang
dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi.
Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek
pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.
Tokoh Kian Santang
SEBAGAIMANA halnya
dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang dianggap
misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan
(kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab
dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan,
Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian
Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda
bagian pedalaman.
Sampai saat ini terdapat
beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada
juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber
sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu
pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam
mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak
sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai
tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda
sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam
Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal
yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya,
bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh
mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.
Sampai saat ini
terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang
sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber
itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun
menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S.
Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan
dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan
gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat
yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca
kalimat Syahadat.
Di dalam cerita lisan
lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran yang
masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama
Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar
dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan
banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari
keraton dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran,
bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.
Dari cerita rakyat
tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian
Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya
alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan
Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data
arkeologi dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.
Adapun mengenai
pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu
Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syekh (guru)
tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit
dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan
berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam
realitas sejarah manusia Sunda.
Sejalan dengan cerita
rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai
Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah
seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada
bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan,
sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut,
sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang
berada di Godog Karangpawitan Garut.
Dalam sejarah Godog,
Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger
(Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun
yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama
menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1)
Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4)
Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau
Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan
Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.
Dari seluruh cerita
rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah seorang
putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan seorang
penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan
berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada
abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang
masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan
Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu
Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata
menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura
Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari
Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang,
salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi ibu dari
Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang.
Berdasarkan uraian di
atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama
Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan
agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri
Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari
wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi
raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah
Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied. Limbangan merupakan pusat
penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan).
Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang
menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan India.
Mula-mula Kian
Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak
di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah
(1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan
cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu
Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian
Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar
dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat
Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi
kerajaan terakhir Pajajaran.
Para petinggi dan
raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di
antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya
terletak dekat makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong,
Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya
(ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan
ada di Tasikmalaya.
Melalui raja-raja
lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian
setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya,
yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan,
Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut),
Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para
menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang
dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).
Tokoh Syarif Hidayatullah
SEPERTI telah
diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas
Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah,
seorang penguasa kota Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera
dari Nurul Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat
Zainal Abidin (buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu
ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman,
1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan
keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali
kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota)
Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan
Nyi Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang
lahir di Mesir.
Syarif Hidayatullah
muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia
berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang
penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam,
masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia
memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya
(Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan
Islam Pakungwati.
Selama di perjalanan
menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan
diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia
singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di
Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya.
Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah
Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal
selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid
Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali
Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya
menyebarkan Islam di sana.
Sesampainya di
Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh
Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah
kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah
kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena
itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di
Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di
Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon.
Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan
menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia
memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah
kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman
(ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan
Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh
(Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali
Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya
Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga
Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46).
Pada tahun 1479,
Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati.
Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan
Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami
puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan
Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah
tentu, sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil
alih kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak
berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari
para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi
pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada
dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran
Cakrabuana.
Pada tanggal 13
Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan
Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang
dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada
bukan Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang
secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah
perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama
di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan
Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa
tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh
dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali
melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang Eropa.
Perjanjian kerjasama
antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan
Demak dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak
mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama
menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan
Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki
pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke
Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali
Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh
pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.
Banyak nama yang
dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah,
Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya
karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono
dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan
Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon,
puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus
Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka Faletehan
memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena
itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka
Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di
Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran
Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan
Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di
tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran
Pasarean.
Ketika Faletehan naik
tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu
Bagus Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri
Banten. Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak
lama, yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun
1570 M. Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni
di Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.
Khatimah
DEMIKIANLAH sekilas
mengenai uraian historis tentang peran Pangeran Cakrabuana, Kian Santang, dan
Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang
sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.
Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara
yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
Pertama, bahwa orang
yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran
Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah
atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia
adalah ua dari Syarif Hdiayatullah.
Kedua, Kian Santang
merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang
beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum
lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan
agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama
di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia
disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih
(Majalengka).
Ketiga, Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang berbeda dengan
Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama
Islam di tanah Pasundan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar