Silsilah raja-raja
Sunda
Berikut ini adalah
silsilah raja kerajaan-kerajaan di Pasundan, Indonesia, yaitu kerajaan:
Salakanagara - dengan ibukota di Teluk Lada
Pandeglang (Rajatapura)
Tarumanagara - dengan ibukota di Bekasi
(Tarumanagara) & Bogor (Sundapura)
Sunda Galuh - dengan ibukota di Bogor
(Pakuan); Kuningan (Saunggalah); Ciamis (Kawali)
Pajajaran - dengan ibukota di Bogor
(Pakuan)
Salakanagara
Rajatapura atau Salakanagara
(Kota Perak) tercantum dalam Naskah Wangsakerta sebagai kota tertua di Pulau
Jawa. Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah
yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M, terletak di daerah Teluk
Lada Pandeglang. Kota ini sampai tahun 362 M menjadi pusat pemerintahan
Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).
Jayasingawarman
pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang
Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya
diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada. yg bener
Tarumanagara
Berikut adalah
raja-raja Tarumanagara:
Jayasingawarman (358 - 382) Jayasingawarman
pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang
Maharesi dari SALANKAYANA di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya
diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada. Setelah
Jayasingawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura
ke Tarumangara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.
Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati (Bekasi).
Dharmayawarman (382 - 395 M) Dipusarakan di
tepi kali Candrabaga.
Purnawarman (395 - 434 M) Ia membangun
ibukota kerajaan baru dalam tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai dan
dinamainya "Sundapura". Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja
Purnawarman dalam tahun 397 M untuk menyebut ibukota kerajaan yang
didirikannya. Pustaka Nusantara,parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162)
menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang
membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang)
sampai ke Purwalingga (sekarang Purbalingga?) di Jawa Tengah. Secara tradisional
Ci Pamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa
Barat pada masa silam.
Wisnuwarman (434-455)
Indrawarman (455-515)
Candrawarman (515-535 M)
Suryawarman (535 - 561 M) Suryawarman tidak
hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih
banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga
mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya,
Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah
Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Sedangkan putera Manikmaya, tinggal
bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan
Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika
cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.
Kertawarman (561-628)
Sudhawarman (628-639)
Hariwangsawarman (639-640)
Nagajayawarman (640-666)
Linggawarman (666-669) Tarumanagara sendiri
hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Dalam tahun 669, Linggawarman,
raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman
sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri
Tarusbawa dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri
Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya.
TARUSBAWA (669 – 723 M) Tarusbawa yang
berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa
Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat
menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan
di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 ia mengganti nama Tarumanagara
menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun,
cicit Manikmaya, untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari kekuasaan Tarusbawa.
Karena Putera Mahkota Galuh (SENA or SANNA) berjodoh dengan Sanaha puteri
Maharani Sima dari Kerajaan Kalingga, Jepara, Jawa Tengah, maka dengan dukungan
Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan
Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang
saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara
dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu: Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan
Citarum sebagai batas.
Kerajaan Sunda Galuh
Berikut adalah
raja-raja Sunda Galuh:
TARUSBAWA (670 – 723 M) Maharaja Tarusbawa
kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru, di daerah pedalaman dekat hulu
Cipakancilan. Dalam cerita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut
dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cikalbakal raja-raja
Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M. Karena putera mahkota wafat mendahului
Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat
sebagai anak dan ahli waris kerajaan.Suami puteri inilah yang dalam tahun 723
menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda.
Sanjaya / Rakeyan Jamri / Prabu Harisdama
(723 – 732M) Cicit Wretikandayun ini bernama Rakeyan Jamri. Sebagai penguasa
Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah
menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya. Ibu dari Sanjaya
adalah SANAHA, cucu Maharani SIMA dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya
adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa.
Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh
kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh
PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain
ayah. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda,
dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun,
kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari
Tarumanegara / Kerajaan Sunda.Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus
Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk
melengserkan Purbasora. Setelah itu ia menjadi Raja Kerajaan Sunda Galuh.
Sebagai ahli waris Kalingga, SANJAYA kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara
yang disebut Bumi MATARAM dalam tahun 732 M. Dengan kata lain, Sanjaya adalah
penguasa Sunda, Galuh dan Kalingga / Kerajaan Mataram (Hindu). Kekuasaan di
Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan atau
Rakeyan Panaraban.
Tamperan Barmawijaya / Rakeyan Panaraban
(732 - 739 M) Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, Raja Kerajaan Mataram
(Hindu) ke 2, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga
Selatan atau Bumi SAMBARA.
Rakeyan Banga (739-766 M).
Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783
M).
Prabu Gilingwesi, menantu no. 5,(783-795
M).
Pucukbumi Darmeswara, menantu no. 6,
(795-819 M).
Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891
M).
Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. 8, 891 -
895 M).
Windusakti Prabu Dewageng (895 - 913 M).
Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi
(913-916 M).
Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa, menantu
no. 11, (916-942 M).
Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954
M).
Limbur Kancana,putera no. 11,(954-964 M).
Prabu Munding Ganawirya (964-973 M).
Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 -
989 M).
Prabu Brajawisesa (989-1012 M).
Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019M).
Prabu Sanghyang Ageng (1019 - 1030 M),
berkedudukan di Galuh.
Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030‚
- 1042 M ), berkedudukan di Pakuan. Pada masa itu Sriwijaya / orang Melayu
menjadi momok yang menakutkan. Kerajaan Sunda Galuh untuk menghindari konflik
dengan Sriwijaya, melakukan hubungan pernikahan antara raja ke 19, Prabu
Sanghyang Ageng (Ayah dari Sri Jayabupati) dengan putri Sriwijaya. Jadi ibu Sri
Jayabupati adalah seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja
WURAWURI. Permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri Dharmawangsa (adik Dewi
LAKSMI isteri AIRLANGGA). Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah
gelar dari mertuanya (DHARMAWANGSA). Gelar itulah yang dicantumkannya dalam
Prasasti Cibadak. Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam
kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu
Darmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara
Sriwijaya dengan mertuanya (Dharmawangsa). Pada puncak krisis ia hanya menjadi
'penonton' dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus
'menyaksikan' Darmawangsa diserang dan dibinasakan oleh raja Wurawuri atas
dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak
Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya 'diancam' agar bersikap netral dalam hal
ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcuta disebut Pralaya itu
terjapada tahun 1019 M. Sriwijaya sendiri musnah pada tahun 1025 karena
serangan Kerajaan Chola dari India. Tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi,
menaklukan Sriwijaya, dan berkuasa selama dua ratus tahun. Dua abad kemudian,
kedua kerajaan tersebut menjadi taklukan kerajaan Singhasari di era Raja
Kertanegara, dengan mengirimkan Senopati Mahisa / Kebo / Lembu ANABRANG, dalam
ekspedisi PAMALAYU 1 dan 2, dengan pertimbangan untuk mengamankan jalur
pelayaran di selat Malaka yang sangat rawan Bajak Laut setelah runtuhnya Sriwijaya
pada tahun 1025. Mahisa Anabrang yang menikah dengan DARA JINGGA (anak dari
Raja Kerajaan Melayu Jambi, MAULIWARMADHEWA), adalah ayah dari Adityawarman,
pendiri Kerajaan Pagaruyung. Dara Jingga dikenal juga sebagai BUNDO KANDUANG
dalam hikayat Kerajaan Pagaruyung atau Minangkabau. Mungkin istilah
MINANG-KABAU berasal dari adanya KEBO (KEBO / Mahisa / Lembu ANABRANG) yang
me-MINANG putri Raja Kerajaan Dharmasraya / Kerajaan Melayu Jambi.
Raja Sunda ke 21 berkedudukan di Galuh
Raja Sunda ke 22 berkedudukan di Pakuan
Raja Sunda ke 23 berkedudukan di Pakuan
Raja Sunda ke-24 memerintah di Galuh
PRABU GURU DHARMASIKSA, mula-mula
berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan. Beliau mempersiapkan
RAKEYAN JAYADARMA, berkedudukan di Pakuan sebagai PUTRA MAHKOTA. Menurut
PUSTAKA RAJYARAJYA i BHUMI NUSANTARA parwa II sarga 3: RAKEYAN JAYADARMA adalah
menantu MAHISA CAMPAKA di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan putrinya MAHISA
CAMPAKA bernama DYAH LEMBU TAL. Mahisa Campaka adalah anak dari MAHISA
WONGATELENG, yang merupakan anak dari KEN ANGROK dan KEN DEDES dari kerajaan
SINGHASARI. Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera SANG NARARYA
SANGGRAMAWIJAYA atau lebih dikenal dengan nama RADEN WIJAYA (lahir di PAKUAN).
Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah turunan ke 4 dari Ken Angrok dan Ken
Dedes. Rakeyan Jayadarma mati dalam usia muda sebelum dilantik menjadi raja.
Konon beliau diracun oleh saudara kandungnya sendiri. Akibatnya Dyah Lembu Tal
tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan, karena khawatir dengan keselamatan
dirinya dan anaknya. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam
BABAD TANAH JAWI, Wijaya disebut pula JAKA SUSURUH dari PAJAJARAN yang kemudian
menjadi Raja MAJAPAHIT yang pertama. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan
putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur. Jadi, sebenarnya, RADEN
WIJAYA, Raja MAJAPAHIT pertama, adalah penerus sah dari tahta Kerajaan Sunda
yang ke-26.
Prabu Ragasuci (1297 – 1303M) berkedudukan
di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis. Ragasuci sebenarnya bukan
putera mahkota karena kedudukanya itu dijabat kakaknya RAKEYAN JAYADARMA.
Permaisuri Ragasuci adalah DARA PUSPA (Puteri Kerajaan Melayu) adik DARA
KENCANA isteri KERTANEGARA, dari kerajaan SINGHASARI di Jawa Timur.
Prabu Citraganda (1303 – 1311 M),
berkedudukan di Pakuan. Ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.
Prabu Lingga Dewata (1311 – 1333),
berkedudukan di Kawali.
Prabu Ajiguna Wisesa (1333 - 1340),
berkedudukan di Kawali, adalah menantu Prabu Lingga Dewata. Sampai tahun 1482
pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa dikatakan bahwa tahun 1333 - 1482
adalah ZAMAN KAWALI dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal 5
orang raja. Lain dengan Galuh, nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti
batu peninggalan PRABU RAJA WASTU yang tersimpan di "ASTANA GEDE"
Kawali. Dalam prasasti itu ditegaskan "mangadeg di kuta Kawali"
(bertahta di kota Kawali) dan keratonnya disebut SURAWISESA yang dijelaskan
sebagai "Dalem sipawindu hurip" (keraton yang memberikan ketenangan
hidup).
Prabu Maharaja Lingga Buana (1340 – 1357).
MANGKUBUMI SURADIPATI atau PRABU BUNISORA,
adik Prabu Lingga Buana. Ada yang menyebut PRABU KUDA LALEAN. Dalam BABAD
PANJALU (Kerajaan Panjalu Ciamis) disebut PRABU BOROSNGORA. Selain itu ia pun
dijuluki BATARA GURU di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung).
Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu
Kancana(1371-1475). Ia adalah anak Prabu Lingga Buana, dinobatkan menjadi raja
pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama adalah LARA
SARKATI puteri Lampung. Dari perkawinan ini lahir SANG HALIWUNGAN (setelah
dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar PRABU SUSUKTUNGGAL). Permaisuri yang
kedua adalah MAYANGSARI puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari
perkawinan ini lahir NINGRAT KANCANA (setelah menjadi penguasa Galuh bergelar
PRABU DEWA NISKALA). Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah
dua di antara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik
kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana.
JAYADEWATA, putera Dewa Niskala mula-mula memperistri AMBETKASIH (puteri KI
GEDENG SINDANGKASIH). Kemudian memperistri SUBANGLARANG (puteri KI GEDENG TAPA
yang menjadi Raja Singapura). Subanglarang ini keluaran pesantren Pondok QURO
di PURA, Karawang. Ia seorang wanita muslim murid SYEKH HASANUDIN yang menganut
MAHZAB HANAFI. Pesantren Qura di Karawang didirikan tahun 1416 dalam masa
pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang belajar di situ selama 2 tahun. Ia
adalah nenek SYARIF HIDAYATULLAH. Kemudian memperistri KENTRING MANIK MAYANG
SUNDA puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Raja Galuh
yang seayah ini menjadi besan. Pada tahun 1482, Prabu Dewa Niskala menyerahkan
Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu
Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini
(Jayadewata). Dengan peristiwa yang terjapada tahun 1482 itu, kerajaan warisan
Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan. JAYADEWATA memutuskan untuk
berkedudukan di Pakuan sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama
tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali
lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Zaman Pajajaran diawali oleh
pemerintahan Ratu Jayadewata yang bergelar Sri Baduga Maharaja yang memerintah
selama 39 tahun (1482 - 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak
perkembangannya.
Raja-Raja Sunda yang
menjadi Raja di Mataram dan Majapahit
Jadi ada dua penerus
sah dari tahta KERAJAAN SUNDA yang menjadi raja besar di Jawa Tengah dan Jawa
Timur.
Sanjaya / Rakeyan Jamri / Prabu Harisdama,
raja ke 2 Kerajaan Sunda-Galuh(723 – 732M), menjadi raja di Kerajaan Mataram
(Hindu) (732 - 760M). Ia adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno, dan sekaligus
pendiri Wangsa Sanjaya.
Raden Wijaya, penerus sah Kerajaan Sunda ke
– 26, yang lahir di Pakuan, dan dikemudian hari menjadi Raja Majapahit pertama
(1293 – 1309 M).mantap
Pajajaran
Berikut adalah
raja-raja Pajajaran:
Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta
di Pakuan (Bogor sekarang)
Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di
Pakuan
Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di
Pakuan
Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di
Pakuan
Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan
Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai
Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang
Raja-Raja Pajajaran,
seperti juga Raja-Raja Singasari, Majapahit, Dharmasraya, dan Pagaruyung
periode awal, beserta para pembesarnya adalah pengikut sekte keagamaan Tantra.
Sekte Tantra adalah sekte yang melakukan meditasi dengan mempersatukan Yoni dan
Lingga. Artinya meditasi dilakukan dengan melakukan hubungan antara laki laki
dan perempuan.
Berakhirnya zaman
Pajajaran (1482 - 1579), ditandai dengan diboyongnya PALANGKA SRIMAN SRIWACANA
(Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh
pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong
ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian.
Pertama, dengan
dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja
baru.
Kedua, dengan
memiliki Palangka itu, Maulana Yusufkorem 064 menjadikan Maulana yusuf sebagai
namanya, merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena
buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Palangka Sriman
Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten.
Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya WATU GIGILANG. Kata Gigilang berarti
mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar