SEJARAH SALAKANAGARA SUNDA DAN GALUH
KaruhunAki Tirem
sangat kuat untuk diperkenalkan sebagai cikal bakal Salakanagara. Dijamannya
hanya berpredikat setingkat penghulu, bukan berpangkat raja.
Aki Tirem dalam
cerita rakyat Pandeglang dikenal juga dengan landihan Aki Luhurmulya, atau
Angling Dharma (Hindu) dan naman Wali Jangkung (Islam). Namun penyebutan tokoh
dengan nama tersebut sering terdapat perbedaan, karena masyarakat ada juga yang
menyebut nama Prabu Angling Dharma atau Wali Jangkung kepada Dewawarman. Bahkan
Angling Dharma juga diakui berada di wilayah lain, bukan Salakanagara.
Kemasygulan
masyakarat terhadap tokoh Aki Tirem menyebabkan bertambah gelar-gelar yang ia
terima. Nama Angling Dharma misalnya, hemat saya lebih tepat jika dilarapkan
kepada Dewawarman, mengingat Prabu Angling Dharma dalam ceritanya digambarkan
sebagai Raja, bukan penghulu. Demikian pula sosok
Wali Jangkung,
mengingat para pendatang dari India lebih memiliki sosok yang lebih tinggi dari
para penduduk yang datang sebelumnya atau pribumi.
Menurut Naskah
Wangsakerta Aki Tirem adalah putera Ki Srengga, Ki Srengga Putera Nyai Sariti
Warawiri, Nyai Sariti Warawiri puteri Sang Aki Bajulpakel, Aki Bajulpakel
putera Aki Dungkul dari Swarnabhumi bagian selatan kemudian berdiam di Jawa
Barat sebelah Barat, Aki Dungkul putera Ki Pawang Sawer, Ki Pawang Sawer Putera
Datuk Pawang Marga, Datuk Pawang Marga putera Ki Bagang yang berdiam di
swarnabhumi sebelah utara, Ki Bagang putera Datuk Waling yang berdiam di Pulau
Hujung Mendini, Datuk Waling putera Datuk Banda, ia berdiam di dukuh tepi
sungai, Datuk Banda putera Nesan, yang berasal dari Langkasungka.
Sedangkan Nenek
moyangnya berasal dari negeri Yawana sebelah barat.
Jika dipelajari lebih
jauh lagi, naskah Wangsakerta yang ditulis pada tahun 1677 M menceritakan,
bahwa pendatang dari Yawana dan Syangka yang termasuk kedalam kelompok manusia
purba tengahan (janma purwwamadhya) tiba kira-kira tahun 1.600 sebelum saka.
Kaum pendatang yang tiba di Pulau Jawa kira-kira antara 300sampai dengan 100
tahun sebelum saka. Mereka telah memiliki ilmu yang tinggi (widyanipuna) dan
telah melakukan perdagangan serbaneka barang.
Para pendatang ini
menyebar ke pulau-pulau Nusantara.
Wangaskerta menjelaskan
pula, : oleh para mahakawi yang terlibat dalam penyusunan naskah Wangsakerta
disebut jaman besi (wesiyuga), karena mereka dianggap telah mampu membuat
berbagai macam barang dan senjata dari besi, yang lebih penting, mereka telah
mengenal penggunaan emas dan perak.
Sebenarnya bukan
hanya berdagang, tetapi merekapun merasuk kedesa-desa, seolah-olah semuanya
milik mereka. Pribumi yang tidak mau menurut atau menghadangnya segera
dikalahkan. Merekapun harus menjadi orang bawahan yang harus tunduk pada keinginan
mereka. Antara tahun 100 sebelum saka sampai awal tahun Saka masih banyak kaum
pendatang yang tiba dinusantara dari negeri-negeri sebelah timu India yang juga
telah memiliki pengetahuan yang tinggi.
Dari kisah ini dapat
diambil kesimpulan, bahwa pengambilan nama Salakanagara, atau Kotaperak, atau
argyre memang wajar dan sangat terkait dengan jaman tersebut, yang kisahkan
oleh para Mahakawi sebagai jaman besi (wesiyuga), jaman manusia di Nusantara
telah mengenal penggunaan besi dan perak sebagai perkakas. Sedangkan kaum
pendatang, seperti Dewawarman dari India datang ketempat tersebut dimungkinkan
untuk berdagang dan mencari perak.
Raja-raja
Salakanagara
Raja raja
Salakanagara menggunakan nama Dewawarman sesuai nama raja pertamanya, yaitu
Dewawarman I
menurut sejarah
merupakan salah seorang Pangeran dari Palawi, India selatan, sebelum menjadi
menantu aki ia adalah duta negaranya di Pulau Jawa. Dewawarman.
Pertemuan klan Aki
Tirem dengan Dewawarman semula berazaskan pada kepentingan saling melindungi.
Aki Tirem ketika itu sebagai penghulu diwilayah Salakanagara, sedangkan
Dewawarman duta dari Palawa.
Konon kabar menurut
Naskah Wangsakerta, Dewawarman selalu melindungi penduduk Salakanagara dari
rongrongan para perompak.
Kerjasama yang paling
mengesankan bagi kedua belah pihak ketika Pasukan Dewawarman dengan Aki Tirem
menyergap rombongan perompak yang turun ke Salakanagara. Serta merta mereka
dapat dilumpuhkan. Sejak saat itu pasukan Dewawarman sering turun ke
Salakanagara, hingga suatu saat Dewawarman terpikat oleh putri Aki Tirem,
kemudian menikah. Demikian juga seluruh pasukan dan kerluarganya, merekapun
mengikuti jejak Dewawarman menikai putri-putri Salakanagara.
Ketika Aki Tirem
sakit ia sudah berpesan agar jika suatu saat meninggal maka Dewawarman yang
diharapkan menggantikan kedudukannya. Hingga tibalah Aki Tirem Wafat. Ada juga
yang mengisahkan Akti Tirem ketika digantikan Dewawarman belum wafat, namun ia
sengaja mengundurkan diri dari keramaian dunia dan pergi bertapa. Dewawarman
kemudian dinobatkan menjadi raja pertama Salakanagara, dengan gelar Prabhu
Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara, Sedangkan Dewi Pohaci diberi
gelar Dwi Dwani Rahayu.
Penyerahan kekuasaan
tersebut terjadi pada tahun 122 M. Dan pada saat itu diberlakukan pula penanggalan
Sunda yang dikenal dengan sebutan Saka Sunda.
Dewawarman I berkuasa
selama waktu 38 tahun sejak dinobatkan pada tahun 52 Saka atau 130 M. selama
masa pemerintahan ia pun mengutus adiknya yang merangkap Senapati, bernama
Bahadur Harigana Jayasakti untuk menjadi raja daerah di Mandala Ujung Kulon.
Sedangkan adiknya
yang lain, bernama Sweta Liman Sakti dijadikan raja daerah Tanjung Kidul dengan
ibukotanya Agrabhintapura. Nama Agrabhinta dimungkinkan terkait dengan nama
daerah berada didaerah Cianjur selatan, sekarang menjadi daerah perkebunan
Agrabhinta, hanya karena sulit diakses, daerah tersebut seperti menjadi daerah
tertinggal.
Klan Dewawarman
menjadi raja Salakanagara secara turun menurun.
Seperti Dewawarman II
anak Dewawarman dari perkawinan dengan Pohaci Larasati. Dalam catatan sejarah,
raja-raja Salakanagara yang menggunakan nawa Dewawarman sampai pada Dewawarman
IX. Hanya saja setelah Dewawarman VIII, atau pada tahun 362 pusat pemerintahan
dari Rajatapura dialihkan keTarumanagara. Sedangkan Salakanagara pada akhirnya
menjadi raja bawahan Tarumanagara.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan
Salakanagara meliputi Banten, Jawa Barat bagian barat dan pulau-pulau didalam
Wilayahnya. Sepanjang pantai Salakanagara dijaga Pasukan Dewawarman, termasuk
pesisir Jawa Barat, Nusa Mandala atau Puilau Sangiang, Nusa Api dan pesisir
Sumatra Bagian selatan. Bertujuan untuk menjaga keamanan dari gangguan
perampok. Sebagai imbalannya, para pelaut tersebut diwajibkan membayar upeti.
Selama kejayaan
Salakanagara memang gangguan yang sangat serius datangnya dari para perompak.
Hingga pernah kedatangan perompak Cina. Namun berkat keuletan Dewawarman dengan
membuka hubungan diplomatik dengan Cina dan India pada akhirnya Salakanagara
dapat hidup damai dan sentausa.
Peninggalan
Salakanagara
Selain adanya
perkiraan jejak peninggalan Salakanagara, seperti batu menhir,. Dolmen dan batu
magnet yang terletak di daerah Banten, berdasarkan penelitian juga ditemukan
bahwa penanggalan sunda atau Kala Sunda dinyatakan ada sejak jaman Aki Tirem.
Penanggalan tersebut kemudian dinamakan Caka Sunda. Perhitungan Kala Saka
mendasarkan pada Matahari 365hari) dan Bulan (354 hari). Masing-masing tahun
mengenal taun pendek dan panjang.
Cikal Bakal
Tarumanagara
Konon kabar pada
tahun 270Saka atau 348 Jayasinghawarman, seorang Maharesi dari Salankayana India,
ia mengungsi karena daerahnya ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan
Maurya. Daerah pengungsuiannya terletak di Wilayah dekat Citarum. Daerah
tersebut masih termasuk wilayah kekuasaan Dewawarman VIII. Maharesi tersebut
kemudian menjadi menantu Dewawarman VIII.
Setelah berselang
lama, banyak penduduk berdatangan dan menetap disana. Lama kelamaan daerah
tersebut menjadi Nagara (kota). Kemudian Jayasingawarman pun memperbesar
kotanya hingga menjadi sebuah kerajaan yang diberi nama Tarumanagara.
Jayasingawarman
selain menjadikan wilayah Salakanagara menjadi sebuah kerajaan iapun kemudian
menjadi rajadirajaguru yang memerintah kerajaan dan bergelar Jayasingawarman
Gurudarmapurusa.
Cag Heula. (***).
Mudah mudahan tulisan
ini ada yang dapat melakukan koreksi. Hatur Nuhun.
Salakanagara
Salakanagara didalam
naskah Wangsakerta disebut-sebut sebagai Kerajaan awal di Indonesia. Naskah
tersebut kemudian diuraikan dalam Sejarah Jawa Barat dan menghubungkan dengan
sumber berita luar tentang Salakanagara.
Sumber berita yang
sangat berpengaruh dan memberikan inspirasi bagi para peneliti adalah dari
berita Cina, menyebut-nyebut raja Yeh-tiao bernama Tiao pien mengirimkan utusan
ke Cina pada tahun 132 M. Nama Yeh-tiao diduga Yawadwipa atau Yabadiu,
sedangkan Tiao pien dipersamakan dengan Dewawarman.
Berita Cina bukan
satu-satunya sumber rujukan, karena keberadaannya dianggap lebih serius setelah
dihubungkan dengan tulisan Ptolomeus, ahli ilmu bumi mesir, dalam buku
'Geographia', ditulis + tahun 150 M. Ptolomeus menyebutkan diujung barat
Iabadiou (Jawadwipa) terletak Argyre (kotaperak). Dari kedua berita ini
kemudian para ahli menarik kesimpulan adanya sebuah kerajaan di pulau jawa
bagian barat. Sekalipun dalam rentang perjalanan waktu, kesimpulan para
penelitipun berubah-berubah, bahkan menganggap berada di daerah Thailand.
Didalam sejarah
lokal, konon letak Salakanagara berada di sekitar Kabupaten Pandeglang.
Propinsi Banten. Peninggalan yang dianggap berkaitkan dengan Salakanagara
tersebar di Cihunjuran, Citaman, Gunung Pulosari, dan Ujung Kulon, bahkan
diperkirakan memilki kaitan dengan wilayah sekitar Gunung Salak (Mungkin
Caringin Kurung) dan Gunung Padang Cianjur.
Kegamangan menentukan
letak Salakanagara didalam peta Indonesia memang sangat wajar, mengingat tidak
ada bukti fisik sejarah yang telah diakui dengan jelas dan bisa dijadikan
patokan. Semacam prasasti, atau tanda-tanda lainnya. Dimungkinkan pula
kegamangan ini alam, seperti telah meletusnya Gunung Krakatau pada abad ke-17,
dikenal dengan nama Nusa Api.
Menurut hemat saya,
penelusuran sejarah Salakanagara sebaiknya tidak hanya terfokus pada masalah
yang bersifat berita komunikasi tertulis yang memang sangat terbatas, namun
jauh lebih bijak jika dipertimbangkan pula sumber dari cerita-cerita rakyat
atau petutur sejarah lisan. Penelusuran dapat juga dilakukan melalui cara
mencari asal-usul kerajaan sebelumnya, seperti mencari asal-usul kerajaan
Tarumanagara. Konon Kabar kerajaan ini merupakan 'tuturus' dari Salakanagara.
Dalam cerita lisan
Urang Sunda mengenal kisah Dewata Cengkar dan Abusaka mungkin abu saca). Yang
satu dianggap asli Indonesia sedang yang lain dari tanah sebrang. Kisah ini
lebih banyak menceritakan adanya pertemuan budaya, namun memang seolah-olah ada
cerita yang kurang enak mengenai dominasi asing terhadap pribumi. Sebagai
paneling-ngelingnya maka lahirlah penanggalan Caka Sunda. Sayang ceritanya
hanya terbatas untuk komunitas tertentu. Sehingga agak sulit melacak "ka
girangna". Namun didalam sejarah Jawa Barat disebutkan pertanda adanya sentuhan
budaya dari India.
Arti Salakanagara
Salakanagara dalam
sejarah Sunda (Wangsakerta) disebut juga Rajatapura. Salaka diartikan perak
sedangkan nagara sama dengan kota, sehingga Salakanagara banyak ditafsirkan
sebagai Kotaperak atau Argyre (ptolomeus).
Konon kabar
Salakanagara sampai dengan masa Aki Tirem baru bebentuk suatu komunitas
masyarakat yang tinggal di Wilayah tersebut, bahkan namanya pun belum disebut
Salakanagara, hanya dipimpin atau dikelola oleh penghulu, Salakanagara resmi
menjadi kerajaan ketika masa Dewawarman I, menantu Aki Tirem yang menikahi
putri Aki Tirem, bernama Pwahaci Larasati (urang sunda menyebut Dewi Pohaci).
Jauh-jauh hari
sebelum berbentuk kerajaan, Salakanagara dikenal sebagai kota perdagangan dan
persinggahan para Saudagar asia, seperti Arab, India dan China. Sehingga wajar
jika keberadaan Salakanagara diberitakan oleh mereka.
Di buat Juarna di
21:12 0 Kritik, saran
Label: Sejarah
Jumat, 17 Juli 2009
TARUMANEGARA
Sebelum Salakanagara
ramai diperbincangkan Kerajaan Tarumanagara lebih dahulu disebut-sebut para
akhli sejarah sebagai kerajaan awal di tatar pasundan. Padahal berdasarkan
dugaan awal, keberadaan Salakanagara jauh lebih dulu dibandingkan Tarumanagara.
Entah bagaimana, Tarumanagara pun dianggap sebagai kerajaan yang didirikan kaum
pendatang, para saudagar dari India.
Sekalipun demikian,
kepopuleran Tarumanagara didalam sejarah lisan masyarakat sekarang belum dapat
mengalahkan cerita tentang Galuh dan Pajajaran, bahkan masih banyak yang
menafsirkan bahwa raja-raja Tarumanagara bergelar Purnawarman, sama dengan
anggapan bahwa raja-raja Pajajaran bergelar Siliwangi (Silihwangi).
Kesalahan dalam cara
mempersepsi raja-raja Tarumanagara yang bergelar Purnawarman dimungkinkan,
mengingat Purnawarman disebut-sebut sebagai raja yang paling terkenal, mampu
memperluas wilayah Tarumanagara, dan banyak di abadikan didalam bentuk
Prasasti.
Sekalipun demikian,
masih banyak para akhli sejarah Jawa Barat, yang masih menyisakan pertanyaan
tentang asal-usul Tarumanagara, apakah dari India atau pribumi asli yang
menggunakan adat istiadat Hindu ?.
Keberadaan
Tarumanagara
Sebagai bukti
keberadaan Tarumanagara diketahui dari peninggalan berupa Prasasti yang saat
ini baru ditemukan tujuh buah dan beberapa arca, batu menhir, perhiasan, batu
dakon, kuburan tua, tempayan, dan logam perunggu.
Sedang sumber rujukan
kisah yang sering dijadikan bahan diskusi berasal dari Naskah Wangsakerta.
Mungkin sulit juga
diakui keberadaanya jika tidak dikuatkan berita dari luar.
Berita ini menurut
sejarah jawa barat tercantum didalam berita-berita dari China. Seperti berita
perjalanan Fa-Hsien, Dinasti Sui dan Dinasti Tang.
Pada tahun 413 M
(Jaman Purnawarman) Fa-Hsien, pendeta Budha dari China. semula ia berniat
berlayar ke Srilanka, namun kapalnya terkatung-katung hingga 90 hari, kemudian
ia tiba di Ya-va-di dan menetap selama lima bulan. Selama di Ya-va-di ia lebih
banyak melihat Brahmana dari pada pendeta-pendeta Budha. Kisah ini kemudian
ditulisnya dalam buku yang berjudul Fa-Kao-Chi.
Berita kedua lainnya
terkait dengan hubungan diplomatic, yakni berita dari Dinasti Sui, menceritakan
bahwa tahun 528dan 535 (masa raja Candrawarman dan Suryawarman) telah datang
utusan dari To-lo-mo yang terletak di sebelah selatan. Sedangkan Berita Dinasti
Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 (masa raja Linggawarman) telah
datang utusaan dari To-lo-mo.
Dari berita
dipercayai para akhli, bahwa yang dimaksud dengan To-lo-mo adalah Tarumanagara.
Berdasarkan sumber-sumber
diatas para akhli sejarah menyimpulkan tentang aspek-aspek social dari
kehidupan raja-raja dan pendudukan Tarumanegara.
Tarumanagara
mengalami puncak kejayaannya ketika dipimpin Purnmawarman. Ia dianggap raja
gagah perkasa, pemberani. panglima perang, membekas dihati rakyat dan tokoh
agama sebagai raja yang memperhatikan kesejahteraan rakyat, serta rajin
memberikan hadiah kepada para Brahmana.
Jika tidak ditemukan
beberapa prasasti, keraguan terhadap keberadaan Tarumanagara akan sama dengan
keraguan terhadap Salakanagara. Untungnya Purnawarman termasuk raja yang sangat
rajin mengabadikan kejayaannya didalam Prasasti, sehingga tidak mengalami
kebuntuan sejarah, sebagaimana yang dialami Salakanagara.
Prasasti terpenting
yang mengabarakan keberadaan Purnawarman dimuat dalam prasasti Ciaruten,
menjelaskan :
"Kedua jejak
telapak kaki yang seperti jejak telapak kaki Wisnu ini kepunyaan penguasa dunia
yang gagah berani yang termashur Purnawarman raja Tarumanagara".
Prasasti ini cukup
kuat menunjukan Tarumanagara memang pernah ada, sekalipun lokasi dan tanda
tanda fisik kedatuannya masih belum diketahui, namun patut diduga, Tarumanagara
berada di wilayah Pantai Bekasi.
Prasasti inipun
menunjukan pula Purnawarman sebagai raja Tarumanagara, sehingga wajar jika
Purnawarman dianggap pendiri Tarumanagara.
Keyakinan yang
menganggap Purnawarman pendiri Tarumanagara akan menjadi tak terelakan jika
tidak ditemukan Prasasti Tugu, yang diperkirakan dibuat abad ke 5M. Prasasti
tersebut menunjukan Purnawarman bukan raja pertama, karena masih ada
pendahulunya, yakni Rajadirajaguru. Runtutan kisah ini menjadi tersambungkan
jika dihubungkan dengan Kisah Tarumanagara didalam Naskah Wangsakerta, yang
dibuat pada abad 17 M Pendiri Tarumanagara
Prasasti yang
ditemukan di Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya Bekasi, ditulis dalam huruf palawi
menerangkan, bahwa : Purnawarman telah menggali saluran sungai Gomati dalam
waktu 20 hari, namun pada bait pertama menyebutkan, : "dahulu sungai
Chandrabaga digali oleh Rajadirajaguru...". Prasasti ini cukup kuat
menjelaskan "Purnawarman" bukan raja pertama. Karena menyebut adanya
Rajadirajaguru, pendahulunya. Paling tidak Rajadirajaguru adalah pendahulu
Purnawarman.
Tentang
Rajadirajaguru diuraikan dalam Naskah Wangsakerta, ia disebut-sebut nama
aslinya adalah Sang Maharesi Jayasingawarman, berasal dari Calankayana, India,
tiba pada tahun 270 Saka (348 M) di Jawa Barat bersama para pengikutnya, karena
negaranya dikalahkan oleh Raja Samudragupta, Magada, India. Kemudian menetap di
tepi Sungai Citarum yang termasuk Wilayah Salakanagara.
Pada waktu itu
Salakanagara diperintah oleh Dewawarman VIII. Kelak Sang Maharesi menjadi
menantu Dewawarman VIII.
Karena
kemasyhurannya, desa tersebut semakin hari semakin bertambah penduduknya, bukan
karena bertambahnya anak, melainkan juga banyak penduduk dari desa lain yang
menetap disana. Lama kelamaan desa tersebut menjadi sebuah Negara. Ia beri nama
Tarumanagara.
Sang Maharesi
Jayasingawarman kemudian menjadi Rajadirajaguru yang memerintah Tarumanagara,
bergelar Jayasingawarman Gurudarmapurusa, memerintah Tarumanagara sejak 280
Saka (358 M) dan wafat dalam usia 60 tahun.
Jika menyimak
penundukan Salakanagara kedalam kekuasaan atau menjadi dibawah perlindungan
kerajaan Tarumanagara, memang agak aneh. Karena sebelumnya Tarumanagara
termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara. Tapi tentunya suksesi ini dilakukan
tanpa pertumpahan darah dan jauh dari tanda-tanda adanya perebutan kekuasaan.
Prosesi penundukan
Salakanagara kepada Tarumanagara dimungkin terjadi secara alamiah.
Pertama,
Rajadirajaguru raja Tarumanagara munggaran adalah menantu Dewawarman VIII, Ia
menikah dengan putri Minawati Iswara Tunggal Pertiwi.
Kedua, pada episode
berikutnya Tarumanagara lebih maju dibandingkan Salakanagara, sebagai akibat
banyaknya para pendatang yang menetap di Pataruman. Proses alamiah ini
membentuk Tarumanagara menjadi kota yang ramai.
Pembagian Strata
sosial
Dari pernikahan Sang
Rajaresi dengan putri Minawati Iswara Tunggal Pertiwi, mempunyai anak bernama
Darmayawarman dan Nagawarman. Kelak sepeninggal Sang Rajadirajaguru, Darmayawarman
diangkat menggantikannya, dengan gelar Rajaresi Darmayawarmanguru.
Sang Rajaresi
memerintah Tarumanagara selama waktu 13tahun, dimulai dari tahun 304Saka (382
M). Ia disebut juga Sang Lumahing Candrabaga, karena ia dipusarakan di
Candrabaga. Kemudian ia digantikan putranya yang bernama Purnawarman.
Kedudukan Sang
Rajaresi di Tarumanagara bukan hanya sebagai pengendali pemerintahan, ia juga
pemimpin semua agama yang ada di Tarumanagara. Sama dengan posisi ayahnya dan
kesejarahan terbentuknya Tarumanagara. Posisi ini sangat menentukan dalam
mengelola sosial kemasyarakatan, bahkan tidak berlebihan jika digunakan sebagai
jendela untuk mengetahui sejarah tentang Sunda Wiwitan.
Dari naskah
Wangsakerta ada dua catatan penting yang pernah dilakukan Sang Rajaresi, yakni
membagi strata sosial kemasyarakatan dan upaya merubah pola pikir penduduk
Tarumanagara untuk tidak lagi menganut agama yang dianut nenek moyangnya.
Pertama, Sang
Rajaresi membagi kasta penduduk Tarumanagara menjadi empat kasta, yakni Brahmana,
Ksatriya, Waisya, dan Sudra.
Hal ini dimungkinkan,
sama dengan yang dianut dalam kepercayaan Hindu, mengingat Sang Rajaresi
termasuk penganut Hindu yang taat. Namun ia pun membedakan golongan penduduk
kedalam tiga golongan, yakni golongan nista, madya, dan utama.
Penggolongan
masyarakat menjadi golongan nista, madya dan utama, hemat saya sama dengan cara
Belanda menetapkan penggolongan penduduk di Hindia Belanda.
Namun di Tarumanagara
dimungkinkan untuk memberikan hak dan perlakuan yang istimewa kepada raja
Tarumanagara dan keluarganya serta kepada kaum Brahmana, dalam rangka
menjalankan tugas keagamaan.
Sedangkan di Hindia
Belanda pemerintahan waktu itu mengelompokan masyarakat menjadi golongan Eropa,
Timur asing dan Pribumi untuk keperluan pendudukan hukum.
Penggolongan demikian
didudukan pula dalam bentuk-bentuk aturan (hukum). Seperti memberlakukan Hukum
perdata barat untuk Golongan Eropa dan Hukum adat untuk pribumi.
Memang jika hanya
aturan penundukan hukum adalah masalah kebebasan menentukan, tetapi parahnya,
aturan ini mempengaruhi didalam cara pemberian layanan pemerintah kepada
masyarakat. Seperti penggunaan fasilitas umum dan pengelompokan sekolah. Sadar
atau tidak sadar dapat dikatagorikan pada tindakan diskriminatif.
Saya kurang mendapat
Informasi yang jelas mengenai penerapan dan tingkat upaya menggiring kepatuhan
warga Tarumanagara terhadap kebijakan ini. Namun tentunya, kebijakan ini
memberikan hak yang istimewa kepada raja dan para brahmana yang menjalan tugas
keagamaan.
Kedua, Sang Rajaresi
berupaya merubah paradigma cara keberagamaan masyarakat Tarumanagara agar tidak
lagi menganut agama nenek moyangnya. Upaya Sang Rajaresi ini sangat penting
untuk ditelaah lebih jauh, karena masih banyak para ahli sejarah dan penganut
agama lain yang mensinkretiskan masyarakat tatar sunda dan parahyangan padaan
dahulu sebagai penganut Hindu dan penyembah rokh nenek moyang.
Secara resmi sentuhan
dengan budaya luar (India) sudah mulai nampak ketika Dewawarman I menggantikan
Aki Tirem. Namun sampai saat ini tidak diketahui adanya benturan, kecuali dari
tutur tinular yang mengisahkan lahirnya penanggalan Saka Sunda.
Didalam Naskah
Wangsakerta dijelaskan pula, sentuhan budaya Hindu di Jawa Barat ini menandakan
sejarah Jawa Barat memasuki masa kerajaan dengan konsep kerajaan yang kemudian
bersumber dari tradisi India. Namun tidak berarti seluruh masyarakat di tatar
sunda beralih agama menjadi agama yang dianut raja-rajanya. Karena di jaman
pemerintahan Sang Rajaresi ditemukan agama (ageman) yang tidak sama dengan
agama yang dianut rajanya. Agama ini oleh Sang Rajaresi disebut sebagai agama
yang memuja rokh nenek moyang.
Sampai saat inipun
belum ada nama resmi dari agama tersebut, apalagi dengan adanya penetapan yang
dituangkan dalam SK Menteri, agama ini digabungkan dalam wadah aliran
kepercayaan, yang pembinaannya tidak dilakukan oleh Departemen agama. Jika
ditenggarai dari istilah yang saat ini berkembang, maka lebih tepat jika dikatagorikan
pada agama Urang Sunda Wiwitan (Wiwitan = awal = asal mula).
Berdasarkan
peninggalan arkeologis dan naskah-naskah Sunda buhun, agama sunda wiwitan dapat
dikatagorikan monoteisme. Dalam perkembangannya ada juga pengaruh ajaran agama
lain. Konon kabar, keaslian agama urang sunda dapat dilihat dari agama yang
dianut masyarakat Kanekes (Baduy tangtu) Banten.
Menurut keterangan
pu'un di Kanekes, ageman Sunda Wiwitan menganggap adanya Sang Hyang Keresa
(Tuhan yang Maha Kuasa), yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Tunggal),
Batara Jagat (Penguasa Jagat) dan Batara Seda Niskala (Yang maha Ghaib). Dalam
paradigma agama Sunda Wiwitan, alam ini dibagi tiga, yakni Buana Nyungcung
(Dunia Atas), Buana Tengah (Tempat manusia) dan Buana Larang (neraka).
Naskah Carita
Parahyangan menyebutkan ageman Urang Sunda Wiwitan sebagai agama Jatisunda,
berasal dari kata wiwitan-mula-mula - awal -pokok.
Sedangkan saripati
dari ajaran ini belum sedemikian dikenal, mengingat adanya sikap yang tertutup
dari para penganutnya saat ini. Ketertutupan ini menimbulkan spekulasi dari
para penganut agama lain untuk menempatkan agama Jatisunda sebagai ageman yang
bukan agama, bahkan ada yang sinis menyebutnya atheis, sehinga perlu diajak
untuk masuk agamanya.
Upaya serius yang
dilakukan Sang Rajaresi dilakukan pula melalaui cara mengajarkan agamanya
kepada para penghulu desa yang ada disekitar Tarumanagara. Iapun mendatangkan
brahmana-brahmana dari India.
Namun upaya ini tidak
seluruhnya membuahkan hasil, karena masih banyak penduduk Tarumanagara yang
menganut agama nenek moyangnya
Masa Keemasan
Tarumanagara
Masa keeamasan
Tarumanagara disebut-sebut terjadi pd jaman Purnawarman, bergelar Sri Maharaja
Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaprakarma Suryamahapurusa Jagatpati. Pembangun
Tarumanagara. Ia disebut juga narendraddhvajabuthena (panji segala raja), atau
sering disebut Maharaja Purnawarman, berkuasa pada tahun 317 Saka (395 M),
meningal pd 356Saka (434 M), dipusarakan di Citarum, sehingga disebut juga Sang
Lumah ing Tarumadi.
Kemasyhuran
Tarumanagara diabadikan didalam Prasasti jaman Purnawaraman, tentang
dibangunnya pelabuhan dan beberapa sungai sebagai sarana perekonomian ; pada
masa Purnawarman, Tarumanagara menaklukan raja-raja kecil di Jawa Barat yang
belum mau tunduk.
Prasasti-prasasti tsb
juga menjelaskan tentang raja tarumanagara ; menggali kali gomati sepanjang
6122 busur ; wilayahnya meliputi Bogor dan Pandeglang, bahkan pada perkembangan
berikutnya, Tarumanagara mampu melebarkan sayap kekuasaan nya. Perluasan daerah
Tarumanagara dilakukan melalui jalan perang maupun jalan damai, berakibat
wilayah Tarumanagara menjadi jauh lebih luas dibandingkan ketika masih dipimpin
Rajadirajaguru dan Raja Resi.
Pada jaman ini pula,
masalah hubungan diplomatic ditingkat. Sehingga wajar jika Pustaka Nusantara
menyebutkan kekuasaan Purnawarman membawahi 48 raja daerah yang membentang dari
Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke
Purwalingga (Purbolinggo) di Jawa Tengah. Sehingga memang secara tradisional
Cipamali (Kali Brebes) dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat
pada masa silam. Hal yg sama dpt ditenggarai dari masa Manarah & Sanjaya di
Galuh
Membangun Wilayah
Kisah Purnawarman
secara terperinci diuraikan didlm Pustaka Pararatvan I Bhumi Jawadwipa. Langkah
pertama yg dilakukannya, ia memindahkan ibukota kerajaan kesebelah utara
ibukota lama, ditepi kali Gomati, dikenal dengan sebutan Jayasingapura. Kota
tersebut didirikan Jayasingawarman, kakeknya. Kemudian diberi nama Sundapura
(kota Sunda). Iapun mendirikan pelabuhan ditepi pantai pada tahun 398sampai 399
M. Pelabuhan ini menjadi sangat ramai oleh kapal-kapal kerajaan Tarumanagara.
Raja Tarumanagara
pada masa Purnawarman sangat memperhatikan pemeliharaan aliran sungai.
Tercatatat beberapa sungai yg diperbaikinya :
Pada tahun 410 M ia
memperbaiki kali Gangga hingga sungai Cisuba, terletak di daerah Cirebon,
termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Indraprahasta.
Pada tahun 334 Saka
(412 M) memperindah alur kali Cupu yang terletak di kerajaan Cupunagara yg
mengalir hingga istana raja.
Tahun 335 Saka (413
M) Purnawarman memerintahkan membangun kali Sarasah atau kali Manukrawa
(Cimanuk).
Tahun 339 Saka (417
M), memperbaiki alur kali Gomati dan Candrabaga, yg sebelumnya pernah dilakukan
oleh Rajadirajaguru, kakeknya.
Tahun 341 Saka (419),
memperdalam kali Citarum yg merupakan Sungai terbesar di Wilayah kerajaan
Tarumanagara.
Proses & hasil
pembangunan beberapa sungai diatas menghasilkan beberapa implikasi, yakni dapat
memperteguh daerah-daerah yg dibangun sebagai daerah kekuasaan Tarumanagara.
Kedua, krn sungai
pada saat itu sebagai sarana perkenomian yg penting, maka pembangunan tsb
membangkitkan perekonomian pertanian & perdagangan Tarumanagara.
Politik &
Keamanan
Sejak pra Aki Tirem
wilayah pantai barat pulau jawa tak lekang dari gangguan para perompak, bahkan
keberadaan Salakanagara tak lepas pula dari perlunya penduduk Kota Perak
mempertahankan diri dari gangguan para perompak. Disinilah sebenarnya
Dewawarman I berkenalan dgn masyarakat Yawadwipa dan dari thema ini pula
masyarakat Jawa Barat bersentuhan dengan kebudayaan India.
Konon kabar ketika
masa Salakanagara, pemberantasan perompak dianggap sulit, bahkan menurut cerita
rakyat, ketujuh putra Dewawarman yg terakhir terbunuh dilaut ketika menghalau
para perompak. Para perompak yang paling ganas berasal dari laut Cina Selatan,
sehingga Sang Dewawarman menganggap perlu untuk membuka jalur diplomatik dgn
Cina dan India.
Gangguan para
perompak dialami juga ketika jaman Purnawarman, bahkan wilayah laut jawa
sebelah utara, barat dan timur telah dikuasai perompak. Semua kapal diganggu
atau dirampas, yg terakhir para perompak berhasil menyandera & membunuh
seorang menteri kerajaan Tarumanagara & para pengikutnya.
Untuk menghancurkan
para perompak, Sang Purnawarman langsung memimpin pasukan Tarumanagara. Kontak
senjata pertama terjadi diwilayah Ujung Kulon. Para perampok tersebut dibunuh
dan dibuang kelaut. Sedemikian marahnya Purnawarman. Sejak peristiwa itu daerah
tersebut menjadi aman, karena Purnawarman menghukum mati setiap perompak yang
tertangkap.
Untuk meneguhkan
hubungan diplomatik, banyak anggota kerajaan yg menikah dengan keluarga raja
lain.
Purnawarman memiliki
permaisuri dari raja bawahannya, disamping istri-2 lainnya dari Sumatra,
Bakulapura, Jawa Timur & beberapa daerah lainnya.
Dari permaisuri ini
kemudian lahir sepasang putra dan putri. Putra Purnawarman bernama Wisnuwarman,
kelak menggantikan kedudukannya sebagai raja Tarumanagara. Sedangkan adiknya
dinikahi oleh seorang raja di Sumatera. Konon dikemudian hari di Sumatera
terdpt raja besar yg bernama Sri Jayanasa, dari kerajaan Sriwijaya (pada saat
itu masih dibawah kerajaan Melayu), ia adalah keturunan Purnawarman.
Pemberontakan
Cakrawarman
Pada saat Purnawarman
meninggal Tarumanagara membawahi 46 raja-raja kecil. Sungguh kekuasaan yg besar
dan perlu raja yg mampu dan kuat untuk melanjutkan kekuasaan ini. Ia kemudian
digantikan oleh putranya, yakni Wisnuwarman, dinobatkan tahun 356 Saka (434 M),
Ia memerinta selama 21 tahun.
Wisnuwarman
meneruskan kebijakan ayahnya, namun ia jauh lebih bijaksana dibandingkan
Purnawarman yg dianggap bertangan besi. Untuk menjaga eksistensi Tarumanagara, penobatan
ini diberitahukan keesegenap Negara sahabat dan bawahannya.
Pada awal
pemerintahan Wisnuwarman sudah beberapa kali mengalami upaya pembunuhan. Hingga
kemudian diketahui, bahwa actor intellectual upaya pembunuhan itu adalah
Cakrawarman, pamannya sendiri, adik Purnawarman.
Cakrawarman dimasa
Purnawarman menjabat sebagai panglima angkatan perang. Ia sangat setia
mendampingi kakaknya dalam upaya melebarkan sayap kekuasaan Tarumanagara. Ia
dianggap orang kedua di Tarumanagara. Sepeninggal Purnawarman Ia diharapkan
para pengikutnya untuk menggantikan Purnawarman.
Upaya makar
sebenarnya tidak akan pernah terjadi jika Cakrawarman tidak berambisi dan yakin
terhadap kepemimpinan Wisnuwarman yg mampu melanjutkan kekuasaan Purnawarman.
Keraguannya sangat
beralasan, mengingat Cakrawarman tidak bertabiat seperti ayahnya, yang tegas
dan tanpa kompromi terhadap lawan-lawannya. Namun patut diakui, sejak masa
Wisnuwarman keadilan dan kemakmuran Tarumanagara bisa dapat tercapai.
Upaya makar yg
dilakukan pula oleh para pejabat istana yang setia kepada Cakrawarman, seperti
Sang Dewaraja (wakil panglima angkatan perang), Sang Hastabahu (kepala
bayangkara), Kuda Sindu (wakil panglima angkatan laut), serta pejabat angkatan
perang dan para pejabat kerajaan-kerajaan bawahan Tarumanagara.
Cakrawarman akhirnya
terbunuh dalam suatu pertempuran di sebelah selatan Negara Indraprahasta, tidak
jauh dari Sungai Cimanuk. Ia terbunuh oleh pasukan Bhayangkara Indraprahasta,
kerajaan dibawah Tarumanagara yg setia kepada Wisnuwarman.Sejak peristiwa
tersebut, pasukan bhayangkara Tarumanagara selalu dipercayakan kepada
orang-orang Indraprahasta. Kepercayaan demikian berlangsung hingga pada
peristiwa Galuh, ketika terjadi pemberontakan Purbasora terhadap Sanjaya.
Pemberian Otonomi
Kisah penumpasan
pemberontakan Cakrawarman memberikan pelajaran terhadap pihak keraton dan
raja-raja dibawah Tarumanagara untuk tidak mengulang peristiwa yang sama.
Keteguhan kekuasaan selanjutnya dirubah, dari yang bersifat tangan besi dijaman
Purnawarman menjadi perilaku adil dan bijaksana. Ia memperhatikan kesejahteraan
rakyat dan mengayomi raja-raja yang ada dibawah kekuasaannya.
Suri ketauladan
Wisnuwarman digambarkan ketika menggagalkan upaya Kup Cakrawarman. Secara bijak
ia mengadili orang-orang suruhan Cakrawarman untuk memberitahukan actor
intelectualnya. Ia memperlakukan tersangka dengan baik dan secara cerdik
dijanjikan tidak akan dihukum mati.
Kemudian iapun
mendapatkan informasi tentang actor intellectual dimaksud.
Kebijaksanaan yang ia
miliki dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya, Indrawarman dan
Candrawarman.
Sang Maharaja
Indrawarman bergelar Sang Paramartha Sakti Maha Prabawa Lingga Triwikrama
Buanatala. Berkuasa selama 60 tahun, sejak 377sampai dengan 437 Saka (455 -515
M), sedangkan Indrawarman bergelar Sri Maharaja Candrawarman bergelar Sang
Hariwangsa Purusasakti Suralaga Wangenparamarta, berkuasa selama 20 tahun,
sejak tahun 437 sampai dengan 457 saka (515 - 535 M).
Pada masa
pemerintahannya memang banyak penduduk yang beragama Wisnu, namun tidak pernah
terdengar adanya benturan, Situasi keagamaan digambar-kan tidak ada yang saling
curiga dan cemburu (tan hanekang irsya). Peristiwa yang dapat dianggap
monumental ketika menyerahkan pemerintahan raja-raja daerah kepada trah
turunanan masing-masing, atas dasar kesetiaan kepada raja
Tarumanagara.
Peristiwa ini terjadi pada 454Saka (532 M).
Suatu hal yang perlu
diteladani, pembagian atau penyerahan pengawasan pusat ke daerah masing-masing
bukan suatu barang baru di tatar sunda. Hanya saja banyak ragam proses yang
perlu dilalui.
Biasanya perlu ada
desakan -tekanan dan permintaan agar pusat mau memberikan otonomi. Dalam
peristiwa Tarumanagara justru sebaliknya, pemberian otonomi kepada raja-raja
dibawahnya dilakukan ketika Negara dalam keadaan yang stabil.
Peristiwa ini
digambarkan didalam naskah Wangsakerta (Jawa dwipa Sarga 1) dan disebut adanya
perubahan paradigma raja-raja tarumanagara, dari tangan besi kearah pengendoran
kekuasaan.
Tindakan monumental
tersebut kemudian diabadikan dalam bentuk prasasti ketika jaman Raja
Suryawarman, yang ditemukan didaerah Pasir Muara (Cibungbulang). Isi prasasti
tersebut sebagai berikut :
Ini sabdakalanda
rakryan juru pangambat
wi kawihaji panyca
pasagi marsa
Ndeca barpulihkan
haji sunda
Ini tanda ucapan
rakyan juru pangambat
(tahun) 458
pemerintahan
daerah dipulihkan
kepada raja sunda.
Karakter Kepemimpin
Dari kearifan masa
lalu, saya melihat adanya penerapan leadership yang berbeda antara masa
Purnawarman dengan Wisnuwarman. Masa Purnawarman kepemimpinan Tarumanagara
dijalankan secara tangan besi. Ia tanpa ampun menghukum setiap para pelanggar
hokum dan penganggu ketertiban. Namun ia pun mampu menjaga hubungan baiknya
melalui jalur diplomatik dengan kerajaan lainnya. Bahkan masalah reward dan
punishment sangat kentara dijalankan. Hal ini dapat ditenggarai dari setiap
selesainya membangun suatu daerah niscaya ia memberikan hadiah kepada warga
maupun brahmana.
Konsep lain dari
kearifannya dapat pula ditenggarai dalam cara-cara Purnawarman menjaga hubungan
baik dengan para Brahmana, bahkan ia membangun tempat tempat suci seperti
diwilayah Indraprahasta.
Hubungan raja
brahmana demikian dapat mensinergikan antara masalah duniawi (raja) dan masalah
akhirat (brahma).
Mungkin masa tersebut
termasuk masa memerlukan tingkat kesetiaan dan pentaatan terhadap kebijakan
Negara, sehingga Purnawarman menjalankan kepemimpinannya benar-benar Strong
Leadership dan proporsional.
Dalam cara-cara
mempertahankan kejayaan tersebut di jaman Wisnuwarman dilakukan dengan cara
yang benar-benar adil dan berani mendelagasikan pengawasan dan kebijakannya
kepada raja-raja bawahan. Iapun memberikan punishment yang seimbang dengan
tingkat kesalahan para pelanggarnya. Hal ini terbukti pada cara-cara memberikan
hukuman terhadap para pemberontak. Namun tentunya, masalah kepercayaan
(dipercayai dan dapat memegang kepercayaan) merupakan factor analisa yang
pentinga ia lakukan, sehingga tanpa perangpun Ia mampu mempertahankan kejayaan
Tarumanagara.
Didalam buku Rintisan
Penelusuran Masa Silam Jawa Barat disebutkan Tarumanagara ketika pada masa
Sudawarman sudah mulai nampak anti klimaks dari masa keemasan Tarumanagara.
Sudawarman, raja
Tarumanagara ke IX, dengan gelar Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang
Paramertaresi Hariwangsa. Ia berkuasa sejak tahun 550sampai dengan 561 saka
(628 -639 M) dan dikenal sebagai raja yang berbudi luhur.
Kemunduran atau
gejala meredupnya kejayaan Tarumanagara mulai nampak pada masa Sudarwana, konon
dimungkinkan terjadi,
Pertama, pemberian
otonomi kepada raja-raja bawahan yang diberikan oleh raja-raja sebelumnya tidak
disertai hubungan dan pengawasan yang baik. Akibanya para raja bawahan merasa
tidak terlindungi dan tidak diawasi.
Sudawarman secara
emosional juga tidak menguasai persoalan di Tarumanagara, sejak kecil ia
tinggal di Kanci, kawasan Palawa. Sehingga masalah Tarumanagara menjadi asing
baginya. Memang ia dapat menyelesaikan tugas pemerintahannya, hal ini
disebabkan adanya kesetiaan dari pasukan Bhayangkara yang berasal dari
Indraprahasta, telah teruji kesetiannya terhadap raja-raja Tarumanagara, mereka
hanya berpikir tentang :
bagaimana cara
menyelematkan raja. Sehingga setiap pemberontakan dapat diselesaikan dengan
baik
.
Kedua, pada jaman
Sudawarman telah muncul kerajaan pesaing Tarumanagara yang sedang naik daun.
Seperti ditenggara terdapat Kerajaan Galuh, didirikan tahun 612 M, sebelumnya
termasuk Wilayah Tarumanagara.
Galuh didirikan oleh
Wretikandayun, cucu dari Kretawarman, raja Tarumanagara kedelapan. Selain Galuh
terdapat kerajaan Kalingga di Jawa Tengah yang sudah mulai ada didalam masa
keemasannya.
Sedangkan di Sumatera
terdapat kerajaan Melayu (termasuk Sriwijaya) dan Pali.
Kemerosotan pamor
Tarumanagara tidak akan berakibat parah jika pengganti Sudarwan, yakni
Dewamurti dapat bertindak arif. Ia dianggap sebagai raja yang kasar dan tidak
mau berbelas kasihan, cenderung menebar aib didalam keraton Tarumanagara.
Hingga pada akhirnya
ia dibunuh oleh Brajagiri, anak angkat Kretawarman, raja Tarumanagara ke VIII,
yang ia permalukan. Barjagiri sendiri tewas dibunuh oleh Sang Nagajaya, menantu
Dewamurti.
Sundapura
Kemudian Sang
Nagajaya mewarisi tahta mertuanya dengan gelar Maharaja Nagajayawarman
Darmastya Cupujayasatru. Ia berasal dari Cupunagara, kerajan dibawah
Tarumanagara. Nagajaya memerintah Tarumanagara sejak tahun 562 sampai dengan
588 saka (640 - 666 M).
Setelah wafat
digantikan oleh Linggawarman, dinobatkan sebagai raja ke 12 Tarumanagara pada
tahun 588 saka atau 666 M, dengan gelar Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa
Panunggalan Tirtabumi.
Kemudian ia
digantikan menantunya, yakni Tarusbawa, dengan gelar Maharaja Tarusbawa
Darmawaskita Manungmanggalajaya Sundasembawa, sebelumnya ia raja sundapura.
Tarusbawa memerintah
sejak tahun 591 sampai dengan 645 saka (669 -723 M).
Karena melihat pamor
Tarumanagara yang terus merosot, Tarusbawa sangat menginginkan untuk mengangkat
Tarumanagara kembali kemasa kejayaannya. Ia pun memimpinkan kejayaan
Tarumanagara seperti jaman Purnawarman yang bersemayam di Sundapura.
Dengan keinginannya
tersebut ia merubah nama Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda
(Sundapura atau Sundasembawa).
Penggantian nama
kerajaan yang ia lakukan tidak dipikirkan dampaknya bagi hubungan Tarumanaga
dengan raja-raja bawahannya. Karena dengan digantinya nama Tarumanagara menjadi
Kerajaan Sunda berakibat raja-raja daerah merasa tidak lagi memiliki ikatan
kesejarahan, apalagi Tarusbawa bukan anak Linggawarman, melainkan seorang
menantu dan bekas raja Sundapura.
Letak Sundapura
Tentang letak
Sundapura jika dikaitkan dengan prasasti di Kampung Muara Cibungbulang dan
Prasasti Kebantenan menimbulkan pertanyaan. Karena bisa ditafsirkan, bahwa
perpindahan ibukota Tarumanagara dari Sundapura telah terjadi sejak masa
Suryawarman. Selain itu, posisi letak prasasti Muara dahulu termasuk berada
diwilayah kerajaan Pasir Muara.
Sundapura diduga
keras berada di daerah Bekasi.
Didalam Pustaka
Jawadwipa diterangkan mengenai lokasi Sundapura, :
"telas karuhun
wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning tajyua Taruma. Tekwan ring
usana kangken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwaprastawa saking
Bratanagari".
(dahulu telah ada
nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi
nama Sundapura. Naman ini berasal dari negeri Bharata).
Pemisahan Galuh
Keinginan melepaskan
diri dari Sundapura dicetuskan oleh Wretikandayun, penguasa Galuh. Padahal
leluhur Wretikandyun sangat setia terhadap Tarumanagara, namun karena ada
perubahan nama (mungkin juga adanya pemindahan ibukota Tarumanagara ke wilayah
Sundapura) berakibat ia merasa perlu melepaskan diri.
Keinginan melepaskan
diri ini bukan seuatu yang muskil untuk untuk dilaksanakan, mengingat Galuh
telah merasa cukup kuat untuk melawan Tarumanagara, karena Galuh telah memiliki
hubungan yang sangat baik dengan Kalingga, menikahkan Mandiminyak, putranya
dengan Cucu Ratu Sima. Keinginan tersebut ia sampaikan melalui surat.
Isi surat dimaksud
intinya memenjelaskan, bahwa :
Galuh bersama
kerajaan lain yang berada di sebelah Timur Citarum tidak lagi tunduk kepada
Tarumanagara dan tidak lagi mengakui raja Tarumanagara sebagai ratu. Tetapi
hubungan persahabatan tidak perlu terputus, bahkan diharapkan dapat lebih
akrab.
Wretikandayun
memberikan ultimatum pula, bahwa Tarumanagara janganlah menyerang Galuh Pakuan,
sebab angkatan perang Galuh tiga kali lipat dari angakatan perang Tarumanagara,
dan memilki senjata yang lengkap. Selain itu Galuh juga memiliki bersahabat
baik dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang siap
memberikan bantuan kepada Galuh kapan saja.
Permintaan untuk
memisahkan diri tersebut tidak akan dikabulkan jika terjadi jaman Purnawarman.
Namun berdasarkan perhitungan Tarusbawa, pasukan Tarumanagara yang ada saat ini
dibandingkan pasukan Galuh masih seimbang, sehingga sulit untuk memenangkan
peperangan. Tarusbawa juga termasuk raja yang visioner dan cinta damai. Ia
memilih mengelola setengah kerajaan dengan baik dibandingkan mengelola seluruh
kerajaan dalam keadaan lemah.
Pada cerita berikut
dikisahkan, : akhirnya Tarusbawa menerima tuntutan Wretikandayun. Dan memecah
kerajaan menjadi dua, sesuai dengan permintaan Wretikandayun. Dengan
menggunakan Citarum sebagai batas negaranya.
Dalam tahun 670.
berakhirlah Tarumanagara sebagai kerajaan yang menguasai seluruh Jawa Barat.
Namun muncul dua kerajaan. Disebalah barat Citarum menjadi kerajaan Sunda,
sedangkan disebelah timur Citarum berdiri kerajaan Galuh (Parahyangan).
Cag heula.
KENDAN
Sejarah Jawa Barat
mencatat eksisntensi KENDAN sebagai kerajaan disebut-sebut ada sejak tahun 536
sampai dengan 612 M.
Kendan berubah nama
menjadi Galuh (permata) ketika masa Wretikandayun, penerus Kendan menyatakan
diri melepaskan diri dari Tarumanagara. Karena Terusbawa merubah Tarumanagara
menjadi Kerajaan Sunda (pura).
Sejak tahun 670 M
ditatar sunda dianggap ada dua kerajaan kembar, yakni Sunda Pakuan dan Sunda
Galuh.
Nama KENDAN seolah
tenggelam dalam kebesaran nama Galuh, sangat jarang diketahui masyarakat
tentang wilayah dan kesejarahannya, kecuali beberapa masyarakat yang berminat
mendalami sejarah Sunda. Bagi sejarawan sunda eksistensi KENDAN tidak dapat
dilepaskan dari Galuh. KENDAN danggap cikal bakal Galuh.
Bahkan sejarawan
Sumedang di Musium Prabu Geusan Oeloen membedakan Galuh Kendan dengan Galuh
Kawali.
Letak KENDAN
KENDAN didalam
catatan sejarah Jawa Barat diperkirakan terletak disuatu daerah diwilayah
Kabupaten Bandung, ditepi sebuah bukit (KENDAN), + 500 meter sebelah timur
stasiun kereta api Nagreg.
Terdapat daerah
hunian yang bernama Kampung Kendan, Desa Citaman, Kecamatan Cicalengka.
Namun berdasarkan on
the spot, letak KENDAN berada di sebelah barat stasiun nagreg dan termasuk Desa
Nagreg.
Disekitar Nagreg dan
Citaman ditemukan pula suatu tempat yang disebut masyarakat sekitarnya
"tempat pamujaan", Sayang istilah tempat pamuajaan dalam paradigma
masyarakat sunda dewasa ini dikonotasikan negatif, karena sering digunakan
"pamujaan", suatu cara meminta harta kekayaan kepada mahluk gaib, dan
dianggap menyekutukan Tuhan. Sama dengan istilah pesugihan.
Nama KENDAN lebih
dikenal dalam dunia arkeologi, identik sebagai pusat industri perkakakas
neolitik pada jaman purbakala.
Batu Kendan sudah
lama disebut-sebut dalam dunia kepurbakalaan. Disinyalir daerah Kendan sudah
ramai dihuni penduduk sejak sebelum tarikh masehi.
Pasir batu bukit
KENDAN sampai saat ini masih di ekspoitasi penduduk setempat, karena mengandung
bahan perekat yang sangat cocok untuk pembuatan gerabah. Haji Atang pemilik
bukit itu sekarang, memanfaatkan bukit kendan untuk dijadikan bahan campuran
bata merah. Konon kabar menurut cerita Pak Anang, keponakan Haji Atang, pada
waktu jaman belanda kakeknya mengeksploitasi tanah KENDAN untuk dikirim ke
Belanda dari stasiun Nagreg melalui Pelabuhan Surabaya, bahkan pembangunan
gedung sate dan gedung lainnya di kota Bandung disinyalir menggunakan bahan
dari bukit KENDAN.
Kemudian pernah
ditemukan sebuah patung kecil.
Para akhli sejarah
menyebutnya patung Dewi Durgi. (saat ini disimpan dimusium Jakarta). Sedangkan
di dalam prasasti Jayabupati disebutkan, bahwa :
kekuatan Durgi
dianggap kekuatan Gaib. Dalam cerita Lutung Kasarung, Nini Dugi dianggap
berasal dari Kanekes.
Keberadaan patung
Durga ditempat pamujaan menimbulkan spekulasi dari beberapa akhli sejarah.
Pleyte (1909)
mensinyalir daerah tersebut termasuk daerah "Kabuyutan". Sama dengan
daerah Mandala, atau Kabuyutan yang ada diwilayah Cukang Genteng, dekat Ciwidey
Kabupaten Bandung.
Kerajaan KENDAN
disebut-sebut dalam Naskah Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta.
Disinyalir kedua sumber ini berasal dari Pararatwan Parahyangan, naskah
tersebut saat ini tidak diketahui rimbanya.
Namun karena
dijadikan sebagai naskah rujukan maka Pararatwan Parahyangan dipastikan
keberadaannya lebih tua dari Naskah Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta.
Pendiri Kendan
Naskah Wangsakerta
yang disusun pada abad tujuh belas menjelaskan Kendan didirikan oleh Sang
Manikmaya, ia berasal dari keluarga Calankayana, India. Ia menetap di Kendan
sebagai resi.
Karena memiliki agama
yang sama dengan raja Tarumanagara dan penyembah Wisnu, Manikmaya kemudian
dinikahkan dengan Dewi Tirtakancana, putri Suryawarman, raja Tarumanagara.
Istilah atau sebutan
Manikmaya dalam kehidupan masyarakat sunda sangat familir dan dikenal dari nama
Tokoh Dewa didalam cerita Mahabarata. Sehingga banyak runtutan Kisah yang
menghubungkan sejarah para leluhurnya dengan tokoh pewayangan.
Sebelum Sang
Manikmaya ketika tiba di KENDAN, dipastikan daerah tersebut sudah ada
kehidupan, sebagaimana ditemukannya gerabah yang diketahui berumur pada era
sebelum tarikh masehi. Hal ini menjadi sangat masuk akal mengingat perkenalan
Sang Manikmaya, pendiri KENDAN dengan penguasa Tarumanara terjadi setelah ia
berada di KENDAN dalam kapasitasnya sebagai resi. Dengan demikian sejarah
hampir sama dengan terbentuknya Salakanagara.
Sang Manikmaya
berkuasa di KENDAN sejak 458 Saka (536 M) sampai dengan 490 Saka (568 M). Pada
waktu itu KENDAN mendapat proteksi dari Tarumanagara, karena dianggap wilayah
Tarumanagara.
Pendirian KENDAN jika
diurut kesejarahannya sebagai hadiah dari Suryawarman, raja Tarumanagara. Pada
saat pendirian KENDAN, Tarumanagara ikut menyebarkan keberadaan Sang Manikmaya
keseluruh negara daerah yang ada diwilayah tersebut.
Pembentukan KENDAN
sama halnya dengan kisah Tarumanagara, semula berada di Wilayah Salakanagara,
kemudian pendiri Tarumanagara, Sang Rajadirajaguru (Jayasingawarman) menikahi
Minawati Iswati Tunggal Pertiwi, putri Dewawarman VIII. Sekalipun dalam
perjalanannya selanjutnya, Salakanagara menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara,
namun masih belum dapat diketahui, kecuali disebut-sebut Tarumanagara maju
lebih pesat dibandingkan Salakanagara.
Mungkin juga jika Aki
Tirem pada waktu itu jabatannya seorang raja, jalan cerita Salakanagara pun akan
sama dengan cerita Tarumanagara dan Kendan.
Karena Dewawarman I
menikahi Dewi Pohaci, putri Aki Tirem, kemudian menjadi Raja dan Rajaresi di
Wilayah yang ia terima sebagai hadiah dari raja yang sekaligus memproteksinya
dari gangguan luar.
Suatu hal yang sulit
dipahami jika pada periode selanjutnya KENDAN melepaskan diri dari
Tarumanagara. Karena KENDAN tidak mungkin menjadi kerajaan yang utuh jika
Suryawarman tidak menghadiahi Sang Manikmaya suatu daerah (KENDAN) lengkap
dengan rakyat dan tentaranya
Pemberian hadiah ini
bukan hanya sekedar warisan mertua kepada menantunya, melainkan suatu bentuk
hadiah dari seorang sahabat dan orang yang dianggap berjasa menyebarkan agama
di wilayah Tarumanagara.
Suryawarman juga
menganggap Sang Manikmaya adalah Brahmana ulung dan berjasa terhadap agama.
Para penerus
Manikmaya
Setelah Sang
Manikmaya meninggal, ia digantikan Sang Suralim, putranya pada tahun 490 Saka
(568 M). Sang Suralim, lebih mahir berperang dan banyak waktunya diabdikan
sebagai Senapati dan Panglima Tarumanagara, sehingga ia bergelar Baladhika ning
widyabala. Sang Suralim berkuasa selama 29 tahun. Kemudian digantikan Sang
Kandiawan, putranya.
Lain halnya dengan
ayahnya, Sang Kandiawan lebih dikenal karena hidupnya minandita, ia bergelar
Rajaresi Dewaraja. Sebelum menggantikan ayahnya ia menjadi raja daerah di
Medang Jati atau Medang Gana, sehingga ia bergelar Rahyangta ri Medang Jati.
Namun sebagai raja Kendan ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan tetap di
Medang Jati. Hal ini dimungkinkan, mengingat di Kendan sudah dianggap
terpengaruh oleh Siwaisme, sedangkan ia penyembah Wisnu, sehingga ia pun bergelar
Batara Wisnu di Medang Jati.
Sang Kandiawan
mempunyai lima orang putra, dan menjadikannya sebagai penguasa daerah yang
berada diwilayah Kendan, yakni
Mangukuhan di
kuli-kuli ;
Karungkalah di
Surawulan ;
Katungmaralah di
Peles Awi ;
Sandangreba di Rawunglangit
; dan
Wretikandayun
didaerah Menir.
Berbeda dengan kisah
tersebut, didalam Naskah Carita Parahyangan, kelima anak Sang Kandiawan
dibedakan karena profesinya, bukan karena diberikan daerah kekuasaan, yakni
Mangukuhan menjadi peladang ;
Karungkalah menjadi
pemburu (panggerek) ; Katungmaralah menjadi penyadap ; Sandangreba menjadi
pedagang ; sedangkan Wretikandayun menggantikan Sang Kandiawan menjadi penguasa
KENDAN.
Sang Kandiawan
menduduki tahta KENDAN selama 15 tahun, sejak tahun 597 Saka (612 M), kemudian
ia mengundurkan diri untuk bertapa di Layuwatang (Kuningan), kemudian
digantikan Wretikandayun, putra bungsunya.
Pertimbangan Sang
Kandiawan menyerahkan kekuasaan KENDAN kepada Wretikandayun tentunya membuahkan
pertanyaan besar, karena ia bukan anak pertama, dalam tradisi raja-raja dahulu
dianggap pihak yang paling berhak mewarisi tahta ayahnya.
Pewarisan demikian
sebenarnya tidak bias "digebyah uyah", mengingat setiap orang ataupun
komunitas memiliki cirri khas yang mandiri dan berbeda dengan yang lainnya.
Bisa saja pemilihan
Wretikandayun berdasarkan pada tradisi KENDAN karena ia lebih minandita
dibandingkan dengan saudara-sudaranya lainnya yang lebih banyak memprioritaskan
urusan yang bersifat keduniaan. Alasan ini dapat juga ditenggarai dari sejarah
keberadaan KENDAN, yakni suatu wilayah Karesian yang dihadiahkan Suryawarman,
raja Tarumanagara kepada Sangresi Manikmaya
Namun untuk sekedar
alasan, mungkin jawabannya dapat diketahui dari Carita Parahyangan, tentang
lomba menombak Kebowulan.
Carek sang
Mangukuhan: "Nam adi-adi sadaya urang moro ka tegalan."
Sadatang ka tegalan,
kasampak Pwah Manjangandara reujeung Rakean Kebowulan. Diudag ku limaan, sarta
beunangna pada jangji, yen saha anu pangheulana keuna numbakna, nya manehna
piratueun.
Keuna ditumbak ku
Sang Wretikandayun, Kebowulan jeung Pwah Manjangandara teh.
Kebowulan lumpat ka
patapan, sadatangna hos bae paeh.
Ku Sang Wretikandayun
dituturkeun, kasampak pwah Bungatak Mangalengale keur nyusu ka Pwah
Manjangandara.
Pwah Bungatak
Mangalengale teh ku Sang Wretikandayun di bawa mulang ka Galuh, ka Rahiangta di
Medangjati.
Rahiyangan di
Medangjati lawasna ngadeg ratu limawelas taun.
Diganti ku Sang
Wretikandayun di Galuh, bari migarwa Pwah ngatak Mangalengale.
Tradisi penurunan
tahta kepada anak bungsu bukan sesuatu yang dilarang didalam tradisi KENDAN,
karena Wretikandayun didalam episode Galuh - Kawali mewariskan tahtanya kepada
Amara (Mandiminyak), putra bungsunya.
Namun memang timbul
peristiwa Purbasora dan Sanjaya generasi pasca Wretikandayun. Peristiwa inipun
tidak berhenti hanya pada satu generasi, karena jika ditelaah berbuntut pada
peristiwa Manarah, yang dikenal dalam sejarah lisan sebagai Ciung Wanara.
Penyerahan tahta
kepada anak bungsu raja terjadi pula pasca Manarah, yakni dalam peristiwa
Manistri, atau dikenal dalam cerita Lutung Kasarung.
Manarah menyerahkan
kekuasaannya kepada Purbasari, sedang Purbasari masih memiliki kakak perempuan
lainnya, antara lain Purbalarang.
Ceritapun berbuntut
pada kisah rebutan kekuasaan. Berkat bantuan Sang Lutung (Manistri) akhirnya
Purbasari dapat memperoleh kekuasaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar