Laman

Jumat, 12 Oktober 2012

SEJARAH SALAKANAGARA SUNDA DAN GALUH


SEJARAH  SALAKANAGARA SUNDA DAN GALUH


KaruhunAki Tirem sangat kuat untuk diperkenalkan sebagai cikal bakal Salakanagara. Dijamannya hanya berpredikat setingkat penghulu, bukan berpangkat raja.

Aki Tirem dalam cerita rakyat Pandeglang dikenal juga dengan landihan Aki Luhurmulya, atau Angling Dharma (Hindu) dan naman Wali Jangkung (Islam). Namun penyebutan tokoh dengan nama tersebut sering terdapat perbedaan, karena masyarakat ada juga yang menyebut nama Prabu Angling Dharma atau Wali Jangkung kepada Dewawarman. Bahkan Angling Dharma juga diakui berada di wilayah lain, bukan Salakanagara.

Kemasygulan masyakarat terhadap tokoh Aki Tirem menyebabkan bertambah gelar-gelar yang ia terima. Nama Angling Dharma misalnya, hemat saya lebih tepat jika dilarapkan kepada Dewawarman, mengingat Prabu Angling Dharma dalam ceritanya digambarkan sebagai Raja, bukan penghulu. Demikian pula sosok
Wali Jangkung, mengingat para pendatang dari India lebih memiliki sosok yang lebih tinggi dari para penduduk yang datang sebelumnya atau pribumi.
Menurut Naskah Wangsakerta Aki Tirem adalah putera Ki Srengga, Ki Srengga Putera Nyai Sariti Warawiri, Nyai Sariti Warawiri puteri Sang Aki Bajulpakel, Aki Bajulpakel putera Aki Dungkul dari Swarnabhumi bagian selatan kemudian berdiam di Jawa Barat sebelah Barat, Aki Dungkul putera Ki Pawang Sawer, Ki Pawang Sawer Putera Datuk Pawang Marga, Datuk Pawang Marga putera Ki Bagang yang berdiam di swarnabhumi sebelah utara, Ki Bagang putera Datuk Waling yang berdiam di Pulau Hujung Mendini, Datuk Waling putera Datuk Banda, ia berdiam di dukuh tepi sungai, Datuk Banda putera Nesan, yang berasal dari Langkasungka.
Sedangkan Nenek moyangnya berasal dari negeri Yawana sebelah barat.
Jika dipelajari lebih jauh lagi, naskah Wangsakerta yang ditulis pada tahun 1677 M menceritakan, bahwa pendatang dari Yawana dan Syangka yang termasuk kedalam kelompok manusia purba tengahan (janma purwwamadhya) tiba kira-kira tahun 1.600 sebelum saka. Kaum pendatang yang tiba di Pulau Jawa kira-kira antara 300sampai dengan 100 tahun sebelum saka. Mereka telah memiliki ilmu yang tinggi (widyanipuna) dan telah melakukan perdagangan serbaneka barang.
Para pendatang ini menyebar ke pulau-pulau Nusantara.
Wangaskerta menjelaskan pula, : oleh para mahakawi yang terlibat dalam penyusunan naskah Wangsakerta disebut jaman besi (wesiyuga), karena mereka dianggap telah mampu membuat berbagai macam barang dan senjata dari besi, yang lebih penting, mereka telah mengenal penggunaan emas dan perak.
Sebenarnya bukan hanya berdagang, tetapi merekapun merasuk kedesa-desa, seolah-olah semuanya milik mereka. Pribumi yang tidak mau menurut atau menghadangnya segera dikalahkan. Merekapun harus menjadi orang bawahan yang harus tunduk pada keinginan mereka. Antara tahun 100 sebelum saka sampai awal tahun Saka masih banyak kaum pendatang yang tiba dinusantara dari negeri-negeri sebelah timu India yang juga telah memiliki pengetahuan yang tinggi.

Dari kisah ini dapat diambil kesimpulan, bahwa pengambilan nama Salakanagara, atau Kotaperak, atau argyre memang wajar dan sangat terkait dengan jaman tersebut, yang kisahkan oleh para Mahakawi sebagai jaman besi (wesiyuga), jaman manusia di Nusantara telah mengenal penggunaan besi dan perak sebagai perkakas. Sedangkan kaum pendatang, seperti Dewawarman dari India datang ketempat tersebut dimungkinkan untuk berdagang dan mencari perak.

Raja-raja Salakanagara

Raja raja Salakanagara menggunakan nama Dewawarman sesuai nama raja pertamanya, yaitu
Dewawarman I
menurut sejarah merupakan salah seorang Pangeran dari Palawi, India selatan, sebelum menjadi menantu aki ia adalah duta negaranya di Pulau Jawa. Dewawarman.
Pertemuan klan Aki Tirem dengan Dewawarman semula berazaskan pada kepentingan saling melindungi. Aki Tirem ketika itu sebagai penghulu diwilayah Salakanagara, sedangkan Dewawarman duta dari Palawa.
Konon kabar menurut Naskah Wangsakerta, Dewawarman selalu melindungi penduduk Salakanagara dari rongrongan para perompak.
Kerjasama yang paling mengesankan bagi kedua belah pihak ketika Pasukan Dewawarman dengan Aki Tirem menyergap rombongan perompak yang turun ke Salakanagara. Serta merta mereka dapat dilumpuhkan. Sejak saat itu pasukan Dewawarman sering turun ke Salakanagara, hingga suatu saat Dewawarman terpikat oleh putri Aki Tirem, kemudian menikah. Demikian juga seluruh pasukan dan kerluarganya, merekapun mengikuti jejak Dewawarman menikai putri-putri Salakanagara.
Ketika Aki Tirem sakit ia sudah berpesan agar jika suatu saat meninggal maka Dewawarman yang diharapkan menggantikan kedudukannya. Hingga tibalah Aki Tirem Wafat. Ada juga yang mengisahkan Akti Tirem ketika digantikan Dewawarman belum wafat, namun ia sengaja mengundurkan diri dari keramaian dunia dan pergi bertapa. Dewawarman kemudian dinobatkan menjadi raja pertama Salakanagara, dengan gelar Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara, Sedangkan Dewi Pohaci diberi gelar Dwi Dwani Rahayu.
Penyerahan kekuasaan tersebut terjadi pada tahun 122 M. Dan pada saat itu diberlakukan pula penanggalan Sunda yang dikenal dengan sebutan Saka Sunda.

Dewawarman I berkuasa selama waktu 38 tahun sejak dinobatkan pada tahun 52 Saka atau 130 M. selama masa pemerintahan ia pun mengutus adiknya yang merangkap Senapati, bernama Bahadur Harigana Jayasakti untuk menjadi raja daerah di Mandala Ujung Kulon.
Sedangkan adiknya yang lain, bernama Sweta Liman Sakti dijadikan raja daerah Tanjung Kidul dengan ibukotanya Agrabhintapura. Nama Agrabhinta dimungkinkan terkait dengan nama daerah berada didaerah Cianjur selatan, sekarang menjadi daerah perkebunan Agrabhinta, hanya karena sulit diakses, daerah tersebut seperti menjadi daerah tertinggal.
Klan Dewawarman menjadi raja Salakanagara secara turun menurun.
Seperti Dewawarman II anak Dewawarman dari perkawinan dengan Pohaci Larasati. Dalam catatan sejarah, raja-raja Salakanagara yang menggunakan nawa Dewawarman sampai pada Dewawarman IX. Hanya saja setelah Dewawarman VIII, atau pada tahun 362 pusat pemerintahan dari Rajatapura dialihkan keTarumanagara. Sedangkan Salakanagara pada akhirnya menjadi raja bawahan Tarumanagara.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Salakanagara meliputi Banten, Jawa Barat bagian barat dan pulau-pulau didalam Wilayahnya. Sepanjang pantai Salakanagara dijaga Pasukan Dewawarman, termasuk pesisir Jawa Barat, Nusa Mandala atau Puilau Sangiang, Nusa Api dan pesisir Sumatra Bagian selatan. Bertujuan untuk menjaga keamanan dari gangguan perampok. Sebagai imbalannya, para pelaut tersebut diwajibkan membayar upeti.
Selama kejayaan Salakanagara memang gangguan yang sangat serius datangnya dari para perompak. Hingga pernah kedatangan perompak Cina. Namun berkat keuletan Dewawarman dengan membuka hubungan diplomatik dengan Cina dan India pada akhirnya Salakanagara dapat hidup damai dan sentausa.
Peninggalan Salakanagara
Selain adanya perkiraan jejak peninggalan Salakanagara, seperti batu menhir,. Dolmen dan batu magnet yang terletak di daerah Banten, berdasarkan penelitian juga ditemukan bahwa penanggalan sunda atau Kala Sunda dinyatakan ada sejak jaman Aki Tirem. Penanggalan tersebut kemudian dinamakan Caka Sunda. Perhitungan Kala Saka mendasarkan pada Matahari 365hari) dan Bulan (354 hari). Masing-masing tahun mengenal taun pendek dan panjang.
Cikal Bakal Tarumanagara
Konon kabar pada tahun 270Saka atau 348 Jayasinghawarman, seorang Maharesi dari Salankayana India, ia mengungsi karena daerahnya ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya. Daerah pengungsuiannya terletak di Wilayah dekat Citarum. Daerah tersebut masih termasuk wilayah kekuasaan Dewawarman VIII. Maharesi tersebut kemudian menjadi menantu Dewawarman VIII.
Setelah berselang lama, banyak penduduk berdatangan dan menetap disana. Lama kelamaan daerah tersebut menjadi Nagara (kota). Kemudian Jayasingawarman pun memperbesar kotanya hingga menjadi sebuah kerajaan yang diberi nama Tarumanagara.
Jayasingawarman selain menjadikan wilayah Salakanagara menjadi sebuah kerajaan iapun kemudian menjadi rajadirajaguru yang memerintah kerajaan dan bergelar Jayasingawarman Gurudarmapurusa.
Cag Heula. (***).
Mudah mudahan tulisan ini ada yang dapat melakukan koreksi. Hatur Nuhun.
Salakanagara
Salakanagara didalam naskah Wangsakerta disebut-sebut sebagai Kerajaan awal di Indonesia. Naskah tersebut kemudian diuraikan dalam Sejarah Jawa Barat dan menghubungkan dengan sumber berita luar tentang Salakanagara.
Sumber berita yang sangat berpengaruh dan memberikan inspirasi bagi para peneliti adalah dari berita Cina, menyebut-nyebut raja Yeh-tiao bernama Tiao pien mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 132 M. Nama Yeh-tiao diduga Yawadwipa atau Yabadiu, sedangkan Tiao pien dipersamakan dengan Dewawarman.
Berita Cina bukan satu-satunya sumber rujukan, karena keberadaannya dianggap lebih serius setelah dihubungkan dengan tulisan Ptolomeus, ahli ilmu bumi mesir, dalam buku 'Geographia', ditulis + tahun 150 M. Ptolomeus menyebutkan diujung barat Iabadiou (Jawadwipa) terletak Argyre (kotaperak). Dari kedua berita ini kemudian para ahli menarik kesimpulan adanya sebuah kerajaan di pulau jawa bagian barat. Sekalipun dalam rentang perjalanan waktu, kesimpulan para penelitipun berubah-berubah, bahkan menganggap berada di daerah Thailand.
Didalam sejarah lokal, konon letak Salakanagara berada di sekitar Kabupaten Pandeglang. Propinsi Banten. Peninggalan yang dianggap berkaitkan dengan Salakanagara tersebar di Cihunjuran, Citaman, Gunung Pulosari, dan Ujung Kulon, bahkan diperkirakan memilki kaitan dengan wilayah sekitar Gunung Salak (Mungkin Caringin Kurung) dan Gunung Padang Cianjur.
Kegamangan menentukan letak Salakanagara didalam peta Indonesia memang sangat wajar, mengingat tidak ada bukti fisik sejarah yang telah diakui dengan jelas dan bisa dijadikan patokan. Semacam prasasti, atau tanda-tanda lainnya. Dimungkinkan pula kegamangan ini alam, seperti telah meletusnya Gunung Krakatau pada abad ke-17, dikenal dengan nama Nusa Api.
Menurut hemat saya, penelusuran sejarah Salakanagara sebaiknya tidak hanya terfokus pada masalah yang bersifat berita komunikasi tertulis yang memang sangat terbatas, namun jauh lebih bijak jika dipertimbangkan pula sumber dari cerita-cerita rakyat atau petutur sejarah lisan. Penelusuran dapat juga dilakukan melalui cara mencari asal-usul kerajaan sebelumnya, seperti mencari asal-usul kerajaan Tarumanagara. Konon Kabar kerajaan ini merupakan 'tuturus' dari Salakanagara.
Dalam cerita lisan Urang Sunda mengenal kisah Dewata Cengkar dan Abusaka mungkin abu saca). Yang satu dianggap asli Indonesia sedang yang lain dari tanah sebrang. Kisah ini lebih banyak menceritakan adanya pertemuan budaya, namun memang seolah-olah ada cerita yang kurang enak mengenai dominasi asing terhadap pribumi. Sebagai paneling-ngelingnya maka lahirlah penanggalan Caka Sunda. Sayang ceritanya hanya terbatas untuk komunitas tertentu. Sehingga agak sulit melacak "ka girangna". Namun didalam sejarah Jawa Barat disebutkan pertanda adanya sentuhan budaya dari India.
Arti Salakanagara
Salakanagara dalam sejarah Sunda (Wangsakerta) disebut juga Rajatapura. Salaka diartikan perak sedangkan nagara sama dengan kota, sehingga Salakanagara banyak ditafsirkan sebagai Kotaperak atau Argyre (ptolomeus).
Konon kabar Salakanagara sampai dengan masa Aki Tirem baru bebentuk suatu komunitas masyarakat yang tinggal di Wilayah tersebut, bahkan namanya pun belum disebut Salakanagara, hanya dipimpin atau dikelola oleh penghulu, Salakanagara resmi menjadi kerajaan ketika masa Dewawarman I, menantu Aki Tirem yang menikahi putri Aki Tirem, bernama Pwahaci Larasati (urang sunda menyebut Dewi Pohaci).
Jauh-jauh hari sebelum berbentuk kerajaan, Salakanagara dikenal sebagai kota perdagangan dan persinggahan para Saudagar asia, seperti Arab, India dan China. Sehingga wajar jika keberadaan Salakanagara diberitakan oleh mereka.
Di buat Juarna di 21:12 0 Kritik, saran
Label: Sejarah
Jumat, 17 Juli 2009
TARUMANEGARA
Sebelum Salakanagara ramai diperbincangkan Kerajaan Tarumanagara lebih dahulu disebut-sebut para akhli sejarah sebagai kerajaan awal di tatar pasundan. Padahal berdasarkan dugaan awal, keberadaan Salakanagara jauh lebih dulu dibandingkan Tarumanagara. Entah bagaimana, Tarumanagara pun dianggap sebagai kerajaan yang didirikan kaum pendatang, para saudagar dari India.
Sekalipun demikian, kepopuleran Tarumanagara didalam sejarah lisan masyarakat sekarang belum dapat mengalahkan cerita tentang Galuh dan Pajajaran, bahkan masih banyak yang menafsirkan bahwa raja-raja Tarumanagara bergelar Purnawarman, sama dengan anggapan bahwa raja-raja Pajajaran bergelar Siliwangi (Silihwangi).
Kesalahan dalam cara mempersepsi raja-raja Tarumanagara yang bergelar Purnawarman dimungkinkan, mengingat Purnawarman disebut-sebut sebagai raja yang paling terkenal, mampu memperluas wilayah Tarumanagara, dan banyak di abadikan didalam bentuk Prasasti.
Sekalipun demikian, masih banyak para akhli sejarah Jawa Barat, yang masih menyisakan pertanyaan tentang asal-usul Tarumanagara, apakah dari India atau pribumi asli yang menggunakan adat istiadat Hindu ?.

Keberadaan Tarumanagara
Sebagai bukti keberadaan Tarumanagara diketahui dari peninggalan berupa Prasasti yang saat ini baru ditemukan tujuh buah dan beberapa arca, batu menhir, perhiasan, batu dakon, kuburan tua, tempayan, dan logam perunggu.
Sedang sumber rujukan kisah yang sering dijadikan bahan diskusi berasal dari Naskah Wangsakerta.
Mungkin sulit juga diakui keberadaanya jika tidak dikuatkan berita dari luar.
Berita ini menurut sejarah jawa barat tercantum didalam berita-berita dari China. Seperti berita perjalanan Fa-Hsien, Dinasti Sui dan Dinasti Tang.

Pada tahun 413 M (Jaman Purnawarman) Fa-Hsien, pendeta Budha dari China. semula ia berniat berlayar ke Srilanka, namun kapalnya terkatung-katung hingga 90 hari, kemudian ia tiba di Ya-va-di dan menetap selama lima bulan. Selama di Ya-va-di ia lebih banyak melihat Brahmana dari pada pendeta-pendeta Budha. Kisah ini kemudian ditulisnya dalam buku yang berjudul Fa-Kao-Chi.

Berita kedua lainnya terkait dengan hubungan diplomatic, yakni berita dari Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528dan 535 (masa raja Candrawarman dan Suryawarman) telah datang utusan dari To-lo-mo yang terletak di sebelah selatan. Sedangkan Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 (masa raja Linggawarman) telah datang utusaan dari To-lo-mo.
Dari berita dipercayai para akhli, bahwa yang dimaksud dengan To-lo-mo adalah Tarumanagara.
Berdasarkan sumber-sumber diatas para akhli sejarah menyimpulkan tentang aspek-aspek social dari kehidupan raja-raja dan pendudukan Tarumanegara.
Tarumanagara mengalami puncak kejayaannya ketika dipimpin Purnmawarman. Ia dianggap raja gagah perkasa, pemberani. panglima perang, membekas dihati rakyat dan tokoh agama sebagai raja yang memperhatikan kesejahteraan rakyat, serta rajin memberikan hadiah kepada para Brahmana.

Jika tidak ditemukan beberapa prasasti, keraguan terhadap keberadaan Tarumanagara akan sama dengan keraguan terhadap Salakanagara. Untungnya Purnawarman termasuk raja yang sangat rajin mengabadikan kejayaannya didalam Prasasti, sehingga tidak mengalami kebuntuan sejarah, sebagaimana yang dialami Salakanagara.
Prasasti terpenting yang mengabarakan keberadaan Purnawarman dimuat dalam prasasti Ciaruten, menjelaskan :
"Kedua jejak telapak kaki yang seperti jejak telapak kaki Wisnu ini kepunyaan penguasa dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman raja Tarumanagara".

Prasasti ini cukup kuat menunjukan Tarumanagara memang pernah ada, sekalipun lokasi dan tanda tanda fisik kedatuannya masih belum diketahui, namun patut diduga, Tarumanagara berada di wilayah Pantai Bekasi.
Prasasti inipun menunjukan pula Purnawarman sebagai raja Tarumanagara, sehingga wajar jika Purnawarman dianggap pendiri Tarumanagara.

Keyakinan yang menganggap Purnawarman pendiri Tarumanagara akan menjadi tak terelakan jika tidak ditemukan Prasasti Tugu, yang diperkirakan dibuat abad ke 5M. Prasasti tersebut menunjukan Purnawarman bukan raja pertama, karena masih ada pendahulunya, yakni Rajadirajaguru. Runtutan kisah ini menjadi tersambungkan jika dihubungkan dengan Kisah Tarumanagara didalam Naskah Wangsakerta, yang dibuat pada abad 17 M Pendiri Tarumanagara
Prasasti yang ditemukan di Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya Bekasi, ditulis dalam huruf palawi menerangkan, bahwa : Purnawarman telah menggali saluran sungai Gomati dalam waktu 20 hari, namun pada bait pertama menyebutkan, : "dahulu sungai Chandrabaga digali oleh Rajadirajaguru...". Prasasti ini cukup kuat menjelaskan "Purnawarman" bukan raja pertama. Karena menyebut adanya Rajadirajaguru, pendahulunya. Paling tidak Rajadirajaguru adalah pendahulu Purnawarman.
Tentang Rajadirajaguru diuraikan dalam Naskah Wangsakerta, ia disebut-sebut nama aslinya adalah Sang Maharesi Jayasingawarman, berasal dari Calankayana, India, tiba pada tahun 270 Saka (348 M) di Jawa Barat bersama para pengikutnya, karena negaranya dikalahkan oleh Raja Samudragupta, Magada, India. Kemudian menetap di tepi Sungai Citarum yang termasuk Wilayah Salakanagara.
Pada waktu itu Salakanagara diperintah oleh Dewawarman VIII. Kelak Sang Maharesi menjadi menantu Dewawarman VIII.
Karena kemasyhurannya, desa tersebut semakin hari semakin bertambah penduduknya, bukan karena bertambahnya anak, melainkan juga banyak penduduk dari desa lain yang menetap disana. Lama kelamaan desa tersebut menjadi sebuah Negara. Ia beri nama Tarumanagara.

Sang Maharesi Jayasingawarman kemudian menjadi Rajadirajaguru yang memerintah Tarumanagara, bergelar Jayasingawarman Gurudarmapurusa, memerintah Tarumanagara sejak 280 Saka (358 M) dan wafat dalam usia 60 tahun.

Jika menyimak penundukan Salakanagara kedalam kekuasaan atau menjadi dibawah perlindungan kerajaan Tarumanagara, memang agak aneh. Karena sebelumnya Tarumanagara termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara. Tapi tentunya suksesi ini dilakukan tanpa pertumpahan darah dan jauh dari tanda-tanda adanya perebutan kekuasaan.

Prosesi penundukan Salakanagara kepada Tarumanagara dimungkin terjadi secara alamiah.
Pertama, Rajadirajaguru raja Tarumanagara munggaran adalah menantu Dewawarman VIII, Ia menikah dengan putri Minawati Iswara Tunggal Pertiwi.
Kedua, pada episode berikutnya Tarumanagara lebih maju dibandingkan Salakanagara, sebagai akibat banyaknya para pendatang yang menetap di Pataruman. Proses alamiah ini membentuk Tarumanagara menjadi kota yang ramai.

Pembagian Strata sosial

Dari pernikahan Sang Rajaresi dengan putri Minawati Iswara Tunggal Pertiwi, mempunyai anak bernama Darmayawarman dan Nagawarman. Kelak sepeninggal Sang Rajadirajaguru, Darmayawarman diangkat menggantikannya, dengan gelar Rajaresi Darmayawarmanguru.
Sang Rajaresi memerintah Tarumanagara selama waktu 13tahun, dimulai dari tahun 304Saka (382 M). Ia disebut juga Sang Lumahing Candrabaga, karena ia dipusarakan di Candrabaga. Kemudian ia digantikan putranya yang bernama Purnawarman.

Kedudukan Sang Rajaresi di Tarumanagara bukan hanya sebagai pengendali pemerintahan, ia juga pemimpin semua agama yang ada di Tarumanagara. Sama dengan posisi ayahnya dan kesejarahan terbentuknya Tarumanagara. Posisi ini sangat menentukan dalam mengelola sosial kemasyarakatan, bahkan tidak berlebihan jika digunakan sebagai jendela untuk mengetahui sejarah tentang Sunda Wiwitan.

Dari naskah Wangsakerta ada dua catatan penting yang pernah dilakukan Sang Rajaresi, yakni membagi strata sosial kemasyarakatan dan upaya merubah pola pikir penduduk Tarumanagara untuk tidak lagi menganut agama yang dianut nenek moyangnya.

Pertama, Sang Rajaresi membagi kasta penduduk Tarumanagara menjadi empat kasta, yakni Brahmana, Ksatriya, Waisya, dan Sudra.
Hal ini dimungkinkan, sama dengan yang dianut dalam kepercayaan Hindu, mengingat Sang Rajaresi termasuk penganut Hindu yang taat. Namun ia pun membedakan golongan penduduk kedalam tiga golongan, yakni golongan nista, madya, dan utama.
Penggolongan masyarakat menjadi golongan nista, madya dan utama, hemat saya sama dengan cara Belanda menetapkan penggolongan penduduk di Hindia Belanda.
Namun di Tarumanagara dimungkinkan untuk memberikan hak dan perlakuan yang istimewa kepada raja Tarumanagara dan keluarganya serta kepada kaum Brahmana, dalam rangka menjalankan tugas keagamaan.
Sedangkan di Hindia Belanda pemerintahan waktu itu mengelompokan masyarakat menjadi golongan Eropa, Timur asing dan Pribumi untuk keperluan pendudukan hukum.
Penggolongan demikian didudukan pula dalam bentuk-bentuk aturan (hukum). Seperti memberlakukan Hukum perdata barat untuk Golongan Eropa dan Hukum adat untuk pribumi.

Memang jika hanya aturan penundukan hukum adalah masalah kebebasan menentukan, tetapi parahnya, aturan ini mempengaruhi didalam cara pemberian layanan pemerintah kepada masyarakat. Seperti penggunaan fasilitas umum dan pengelompokan sekolah. Sadar atau tidak sadar dapat dikatagorikan pada tindakan diskriminatif.
Saya kurang mendapat Informasi yang jelas mengenai penerapan dan tingkat upaya menggiring kepatuhan warga Tarumanagara terhadap kebijakan ini. Namun tentunya, kebijakan ini memberikan hak yang istimewa kepada raja dan para brahmana yang menjalan tugas keagamaan.

Kedua, Sang Rajaresi berupaya merubah paradigma cara keberagamaan masyarakat Tarumanagara agar tidak lagi menganut agama nenek moyangnya. Upaya Sang Rajaresi ini sangat penting untuk ditelaah lebih jauh, karena masih banyak para ahli sejarah dan penganut agama lain yang mensinkretiskan masyarakat tatar sunda dan parahyangan padaan dahulu sebagai penganut Hindu dan penyembah rokh nenek moyang.

Secara resmi sentuhan dengan budaya luar (India) sudah mulai nampak ketika Dewawarman I menggantikan Aki Tirem. Namun sampai saat ini tidak diketahui adanya benturan, kecuali dari tutur tinular yang mengisahkan lahirnya penanggalan Saka Sunda.
Didalam Naskah Wangsakerta dijelaskan pula, sentuhan budaya Hindu di Jawa Barat ini menandakan sejarah Jawa Barat memasuki masa kerajaan dengan konsep kerajaan yang kemudian bersumber dari tradisi India. Namun tidak berarti seluruh masyarakat di tatar sunda beralih agama menjadi agama yang dianut raja-rajanya. Karena di jaman pemerintahan Sang Rajaresi ditemukan agama (ageman) yang tidak sama dengan agama yang dianut rajanya. Agama ini oleh Sang Rajaresi disebut sebagai agama yang memuja rokh nenek moyang.

Sampai saat inipun belum ada nama resmi dari agama tersebut, apalagi dengan adanya penetapan yang dituangkan dalam SK Menteri, agama ini digabungkan dalam wadah aliran kepercayaan, yang pembinaannya tidak dilakukan oleh Departemen agama. Jika ditenggarai dari istilah yang saat ini berkembang, maka lebih tepat jika dikatagorikan pada agama Urang Sunda Wiwitan (Wiwitan = awal = asal mula).

Berdasarkan peninggalan arkeologis dan naskah-naskah Sunda buhun, agama sunda wiwitan dapat dikatagorikan monoteisme. Dalam perkembangannya ada juga pengaruh ajaran agama lain. Konon kabar, keaslian agama urang sunda dapat dilihat dari agama yang dianut masyarakat Kanekes (Baduy tangtu) Banten.
Menurut keterangan pu'un di Kanekes, ageman Sunda Wiwitan menganggap adanya Sang Hyang Keresa (Tuhan yang Maha Kuasa), yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Tunggal), Batara Jagat (Penguasa Jagat) dan Batara Seda Niskala (Yang maha Ghaib). Dalam paradigma agama Sunda Wiwitan, alam ini dibagi tiga, yakni Buana Nyungcung (Dunia Atas), Buana Tengah (Tempat manusia) dan Buana Larang (neraka).

Naskah Carita Parahyangan menyebutkan ageman Urang Sunda Wiwitan sebagai agama Jatisunda, berasal dari kata wiwitan-mula-mula - awal -pokok.
Sedangkan saripati dari ajaran ini belum sedemikian dikenal, mengingat adanya sikap yang tertutup dari para penganutnya saat ini. Ketertutupan ini menimbulkan spekulasi dari para penganut agama lain untuk menempatkan agama Jatisunda sebagai ageman yang bukan agama, bahkan ada yang sinis menyebutnya atheis, sehinga perlu diajak untuk masuk agamanya.

Upaya serius yang dilakukan Sang Rajaresi dilakukan pula melalaui cara mengajarkan agamanya kepada para penghulu desa yang ada disekitar Tarumanagara. Iapun mendatangkan brahmana-brahmana dari India.
Namun upaya ini tidak seluruhnya membuahkan hasil, karena masih banyak penduduk Tarumanagara yang menganut agama nenek moyangnya

Masa Keemasan Tarumanagara
Masa keeamasan Tarumanagara disebut-sebut terjadi pd jaman Purnawarman, bergelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaprakarma Suryamahapurusa Jagatpati. Pembangun Tarumanagara. Ia disebut juga narendraddhvajabuthena (panji segala raja), atau sering disebut Maharaja Purnawarman, berkuasa pada tahun 317 Saka (395 M), meningal pd 356Saka (434 M), dipusarakan di Citarum, sehingga disebut juga Sang Lumah ing Tarumadi.

Kemasyhuran Tarumanagara diabadikan didalam Prasasti jaman Purnawaraman, tentang dibangunnya pelabuhan dan beberapa sungai sebagai sarana perekonomian ; pada masa Purnawarman, Tarumanagara menaklukan raja-raja kecil di Jawa Barat yang belum mau tunduk.

Prasasti-prasasti tsb juga menjelaskan tentang raja tarumanagara ; menggali kali gomati sepanjang 6122 busur ; wilayahnya meliputi Bogor dan Pandeglang, bahkan pada perkembangan berikutnya, Tarumanagara mampu melebarkan sayap kekuasaan nya. Perluasan daerah Tarumanagara dilakukan melalui jalan perang maupun jalan damai, berakibat wilayah Tarumanagara menjadi jauh lebih luas dibandingkan ketika masih dipimpin Rajadirajaguru dan Raja Resi.
Pada jaman ini pula, masalah hubungan diplomatic ditingkat. Sehingga wajar jika Pustaka Nusantara menyebutkan kekuasaan Purnawarman membawahi 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (Purbolinggo) di Jawa Tengah. Sehingga memang secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam. Hal yg sama dpt ditenggarai dari masa Manarah & Sanjaya di Galuh

Membangun Wilayah

Kisah Purnawarman secara terperinci diuraikan didlm Pustaka Pararatvan I Bhumi Jawadwipa. Langkah pertama yg dilakukannya, ia memindahkan ibukota kerajaan kesebelah utara ibukota lama, ditepi kali Gomati, dikenal dengan sebutan Jayasingapura. Kota tersebut didirikan Jayasingawarman, kakeknya. Kemudian diberi nama Sundapura (kota Sunda). Iapun mendirikan pelabuhan ditepi pantai pada tahun 398sampai 399 M. Pelabuhan ini menjadi sangat ramai oleh kapal-kapal kerajaan Tarumanagara.
Raja Tarumanagara pada masa Purnawarman sangat memperhatikan pemeliharaan aliran sungai. Tercatatat beberapa sungai yg diperbaikinya :

Pada tahun 410 M ia memperbaiki kali Gangga hingga sungai Cisuba, terletak di daerah Cirebon, termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Indraprahasta.

Pada tahun 334 Saka (412 M) memperindah alur kali Cupu yang terletak di kerajaan Cupunagara yg mengalir hingga istana raja.

Tahun 335 Saka (413 M) Purnawarman memerintahkan membangun kali Sarasah atau kali Manukrawa (Cimanuk).

Tahun 339 Saka (417 M), memperbaiki alur kali Gomati dan Candrabaga, yg sebelumnya pernah dilakukan oleh Rajadirajaguru, kakeknya.

Tahun 341 Saka (419), memperdalam kali Citarum yg merupakan Sungai terbesar di Wilayah kerajaan Tarumanagara.

Proses & hasil pembangunan beberapa sungai diatas menghasilkan beberapa implikasi, yakni dapat memperteguh daerah-daerah yg dibangun sebagai daerah kekuasaan Tarumanagara.
Kedua, krn sungai pada saat itu sebagai sarana perkenomian yg penting, maka pembangunan tsb membangkitkan perekonomian pertanian & perdagangan Tarumanagara.

Politik & Keamanan

Sejak pra Aki Tirem wilayah pantai barat pulau jawa tak lekang dari gangguan para perompak, bahkan keberadaan Salakanagara tak lepas pula dari perlunya penduduk Kota Perak mempertahankan diri dari gangguan para perompak. Disinilah sebenarnya Dewawarman I berkenalan dgn masyarakat Yawadwipa dan dari thema ini pula masyarakat Jawa Barat bersentuhan dengan kebudayaan India.

Konon kabar ketika masa Salakanagara, pemberantasan perompak dianggap sulit, bahkan menurut cerita rakyat, ketujuh putra Dewawarman yg terakhir terbunuh dilaut ketika menghalau para perompak. Para perompak yang paling ganas berasal dari laut Cina Selatan, sehingga Sang Dewawarman menganggap perlu untuk membuka jalur diplomatik dgn Cina dan India.

Gangguan para perompak dialami juga ketika jaman Purnawarman, bahkan wilayah laut jawa sebelah utara, barat dan timur telah dikuasai perompak. Semua kapal diganggu atau dirampas, yg terakhir para perompak berhasil menyandera & membunuh seorang menteri kerajaan Tarumanagara & para pengikutnya.

Untuk menghancurkan para perompak, Sang Purnawarman langsung memimpin pasukan Tarumanagara. Kontak senjata pertama terjadi diwilayah Ujung Kulon. Para perampok tersebut dibunuh dan dibuang kelaut. Sedemikian marahnya Purnawarman. Sejak peristiwa itu daerah tersebut menjadi aman, karena Purnawarman menghukum mati setiap perompak yang tertangkap.
Untuk meneguhkan hubungan diplomatik, banyak anggota kerajaan yg menikah dengan keluarga raja lain.
Purnawarman memiliki permaisuri dari raja bawahannya, disamping istri-2 lainnya dari Sumatra, Bakulapura, Jawa Timur & beberapa daerah lainnya.
Dari permaisuri ini kemudian lahir sepasang putra dan putri. Putra Purnawarman bernama Wisnuwarman, kelak menggantikan kedudukannya sebagai raja Tarumanagara. Sedangkan adiknya dinikahi oleh seorang raja di Sumatera. Konon dikemudian hari di Sumatera terdpt raja besar yg bernama Sri Jayanasa, dari kerajaan Sriwijaya (pada saat itu masih dibawah kerajaan Melayu), ia adalah keturunan Purnawarman.

Pemberontakan Cakrawarman

Pada saat Purnawarman meninggal Tarumanagara membawahi 46 raja-raja kecil. Sungguh kekuasaan yg besar dan perlu raja yg mampu dan kuat untuk melanjutkan kekuasaan ini. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yakni Wisnuwarman, dinobatkan tahun 356 Saka (434 M), Ia memerinta selama 21 tahun.
Wisnuwarman meneruskan kebijakan ayahnya, namun ia jauh lebih bijaksana dibandingkan Purnawarman yg dianggap bertangan besi. Untuk menjaga eksistensi Tarumanagara, penobatan ini diberitahukan keesegenap Negara sahabat dan bawahannya.

Pada awal pemerintahan Wisnuwarman sudah beberapa kali mengalami upaya pembunuhan. Hingga kemudian diketahui, bahwa actor intellectual upaya pembunuhan itu adalah Cakrawarman, pamannya sendiri, adik Purnawarman.

Cakrawarman dimasa Purnawarman menjabat sebagai panglima angkatan perang. Ia sangat setia mendampingi kakaknya dalam upaya melebarkan sayap kekuasaan Tarumanagara. Ia dianggap orang kedua di Tarumanagara. Sepeninggal Purnawarman Ia diharapkan para pengikutnya untuk menggantikan Purnawarman.
Upaya makar sebenarnya tidak akan pernah terjadi jika Cakrawarman tidak berambisi dan yakin terhadap kepemimpinan Wisnuwarman yg mampu melanjutkan kekuasaan Purnawarman.
Keraguannya sangat beralasan, mengingat Cakrawarman tidak bertabiat seperti ayahnya, yang tegas dan tanpa kompromi terhadap lawan-lawannya. Namun patut diakui, sejak masa Wisnuwarman keadilan dan kemakmuran Tarumanagara bisa dapat tercapai.
Upaya makar yg dilakukan pula oleh para pejabat istana yang setia kepada Cakrawarman, seperti Sang Dewaraja (wakil panglima angkatan perang), Sang Hastabahu (kepala bayangkara), Kuda Sindu (wakil panglima angkatan laut), serta pejabat angkatan perang dan para pejabat kerajaan-kerajaan bawahan Tarumanagara.

Cakrawarman akhirnya terbunuh dalam suatu pertempuran di sebelah selatan Negara Indraprahasta, tidak jauh dari Sungai Cimanuk. Ia terbunuh oleh pasukan Bhayangkara Indraprahasta, kerajaan dibawah Tarumanagara yg setia kepada Wisnuwarman.Sejak peristiwa tersebut, pasukan bhayangkara Tarumanagara selalu dipercayakan kepada orang-orang Indraprahasta. Kepercayaan demikian berlangsung hingga pada peristiwa Galuh, ketika terjadi pemberontakan Purbasora terhadap Sanjaya.
Pemberian Otonomi
Kisah penumpasan pemberontakan Cakrawarman memberikan pelajaran terhadap pihak keraton dan raja-raja dibawah Tarumanagara untuk tidak mengulang peristiwa yang sama. Keteguhan kekuasaan selanjutnya dirubah, dari yang bersifat tangan besi dijaman Purnawarman menjadi perilaku adil dan bijaksana. Ia memperhatikan kesejahteraan rakyat dan mengayomi raja-raja yang ada dibawah kekuasaannya.

Suri ketauladan Wisnuwarman digambarkan ketika menggagalkan upaya Kup Cakrawarman. Secara bijak ia mengadili orang-orang suruhan Cakrawarman untuk memberitahukan actor intelectualnya. Ia memperlakukan tersangka dengan baik dan secara cerdik dijanjikan tidak akan dihukum mati.
Kemudian iapun mendapatkan informasi tentang actor intellectual dimaksud.
Kebijaksanaan yang ia miliki dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya, Indrawarman dan Candrawarman.
Sang Maharaja Indrawarman bergelar Sang Paramartha Sakti Maha Prabawa Lingga Triwikrama Buanatala. Berkuasa selama 60 tahun, sejak 377sampai dengan 437 Saka (455 -515 M), sedangkan Indrawarman bergelar Sri Maharaja Candrawarman bergelar Sang Hariwangsa Purusasakti Suralaga Wangenparamarta, berkuasa selama 20 tahun, sejak tahun 437 sampai dengan 457 saka (515 - 535 M).

Pada masa pemerintahannya memang banyak penduduk yang beragama Wisnu, namun tidak pernah terdengar adanya benturan, Situasi keagamaan digambar-kan tidak ada yang saling curiga dan cemburu (tan hanekang irsya). Peristiwa yang dapat dianggap monumental ketika menyerahkan pemerintahan raja-raja daerah kepada trah turunanan masing-masing, atas dasar kesetiaan kepada raja
Tarumanagara. Peristiwa ini terjadi pada 454Saka (532 M).
Suatu hal yang perlu diteladani, pembagian atau penyerahan pengawasan pusat ke daerah masing-masing bukan suatu barang baru di tatar sunda. Hanya saja banyak ragam proses yang perlu dilalui.
Biasanya perlu ada desakan -tekanan dan permintaan agar pusat mau memberikan otonomi. Dalam peristiwa Tarumanagara justru sebaliknya, pemberian otonomi kepada raja-raja dibawahnya dilakukan ketika Negara dalam keadaan yang stabil.
Peristiwa ini digambarkan didalam naskah Wangsakerta (Jawa dwipa Sarga 1) dan disebut adanya perubahan paradigma raja-raja tarumanagara, dari tangan besi kearah pengendoran kekuasaan.
Tindakan monumental tersebut kemudian diabadikan dalam bentuk prasasti ketika jaman Raja Suryawarman, yang ditemukan didaerah Pasir Muara (Cibungbulang). Isi prasasti tersebut sebagai berikut :
Ini sabdakalanda rakryan juru pangambat
wi kawihaji panyca pasagi marsa
Ndeca barpulihkan haji sunda
Ini tanda ucapan rakyan juru pangambat
(tahun) 458 pemerintahan
daerah dipulihkan kepada raja sunda.

Karakter Kepemimpin

Dari kearifan masa lalu, saya melihat adanya penerapan leadership yang berbeda antara masa Purnawarman dengan Wisnuwarman. Masa Purnawarman kepemimpinan Tarumanagara dijalankan secara tangan besi. Ia tanpa ampun menghukum setiap para pelanggar hokum dan penganggu ketertiban. Namun ia pun mampu menjaga hubungan baiknya melalui jalur diplomatik dengan kerajaan lainnya. Bahkan masalah reward dan punishment sangat kentara dijalankan. Hal ini dapat ditenggarai dari setiap selesainya membangun suatu daerah niscaya ia memberikan hadiah kepada warga maupun brahmana.

Konsep lain dari kearifannya dapat pula ditenggarai dalam cara-cara Purnawarman menjaga hubungan baik dengan para Brahmana, bahkan ia membangun tempat tempat suci seperti diwilayah Indraprahasta.
Hubungan raja brahmana demikian dapat mensinergikan antara masalah duniawi (raja) dan masalah akhirat (brahma).

Mungkin masa tersebut termasuk masa memerlukan tingkat kesetiaan dan pentaatan terhadap kebijakan Negara, sehingga Purnawarman menjalankan kepemimpinannya benar-benar Strong Leadership dan proporsional.
Dalam cara-cara mempertahankan kejayaan tersebut di jaman Wisnuwarman dilakukan dengan cara yang benar-benar adil dan berani mendelagasikan pengawasan dan kebijakannya kepada raja-raja bawahan. Iapun memberikan punishment yang seimbang dengan tingkat kesalahan para pelanggarnya. Hal ini terbukti pada cara-cara memberikan hukuman terhadap para pemberontak. Namun tentunya, masalah kepercayaan (dipercayai dan dapat memegang kepercayaan) merupakan factor analisa yang pentinga ia lakukan, sehingga tanpa perangpun Ia mampu mempertahankan kejayaan Tarumanagara.

Didalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Jawa Barat disebutkan Tarumanagara ketika pada masa Sudawarman sudah mulai nampak anti klimaks dari masa keemasan Tarumanagara.
Sudawarman, raja Tarumanagara ke IX, dengan gelar Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang Paramertaresi Hariwangsa. Ia berkuasa sejak tahun 550sampai dengan 561 saka (628 -639 M) dan dikenal sebagai raja yang berbudi luhur.

Kemunduran atau gejala meredupnya kejayaan Tarumanagara mulai nampak pada masa Sudarwana, konon dimungkinkan terjadi,
Pertama, pemberian otonomi kepada raja-raja bawahan yang diberikan oleh raja-raja sebelumnya tidak disertai hubungan dan pengawasan yang baik. Akibanya para raja bawahan merasa tidak terlindungi dan tidak diawasi.
Sudawarman secara emosional juga tidak menguasai persoalan di Tarumanagara, sejak kecil ia tinggal di Kanci, kawasan Palawa. Sehingga masalah Tarumanagara menjadi asing baginya. Memang ia dapat menyelesaikan tugas pemerintahannya, hal ini disebabkan adanya kesetiaan dari pasukan Bhayangkara yang berasal dari Indraprahasta, telah teruji kesetiannya terhadap raja-raja Tarumanagara, mereka hanya berpikir tentang :
bagaimana cara menyelematkan raja. Sehingga setiap pemberontakan dapat diselesaikan dengan baik
.
Kedua, pada jaman Sudawarman telah muncul kerajaan pesaing Tarumanagara yang sedang naik daun. Seperti ditenggara terdapat Kerajaan Galuh, didirikan tahun 612 M, sebelumnya termasuk Wilayah Tarumanagara.
Galuh didirikan oleh Wretikandayun, cucu dari Kretawarman, raja Tarumanagara kedelapan. Selain Galuh terdapat kerajaan Kalingga di Jawa Tengah yang sudah mulai ada didalam masa keemasannya.
Sedangkan di Sumatera terdapat kerajaan Melayu (termasuk Sriwijaya) dan Pali.

Kemerosotan pamor Tarumanagara tidak akan berakibat parah jika pengganti Sudarwan, yakni Dewamurti dapat bertindak arif. Ia dianggap sebagai raja yang kasar dan tidak mau berbelas kasihan, cenderung menebar aib didalam keraton Tarumanagara.
Hingga pada akhirnya ia dibunuh oleh Brajagiri, anak angkat Kretawarman, raja Tarumanagara ke VIII, yang ia permalukan. Barjagiri sendiri tewas dibunuh oleh Sang Nagajaya, menantu Dewamurti.

Sundapura

Kemudian Sang Nagajaya mewarisi tahta mertuanya dengan gelar Maharaja Nagajayawarman Darmastya Cupujayasatru. Ia berasal dari Cupunagara, kerajan dibawah Tarumanagara. Nagajaya memerintah Tarumanagara sejak tahun 562 sampai dengan 588 saka (640 - 666 M).
Setelah wafat digantikan oleh Linggawarman, dinobatkan sebagai raja ke 12 Tarumanagara pada tahun 588 saka atau 666 M, dengan gelar Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi.
Kemudian ia digantikan menantunya, yakni Tarusbawa, dengan gelar Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manungmanggalajaya Sundasembawa, sebelumnya ia raja sundapura.
Tarusbawa memerintah sejak tahun 591 sampai dengan 645 saka (669 -723 M).
Karena melihat pamor Tarumanagara yang terus merosot, Tarusbawa sangat menginginkan untuk mengangkat Tarumanagara kembali kemasa kejayaannya. Ia pun memimpinkan kejayaan Tarumanagara seperti jaman Purnawarman yang bersemayam di Sundapura.
Dengan keinginannya tersebut ia merubah nama Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (Sundapura atau Sundasembawa).


Penggantian nama kerajaan yang ia lakukan tidak dipikirkan dampaknya bagi hubungan Tarumanaga dengan raja-raja bawahannya. Karena dengan digantinya nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda berakibat raja-raja daerah merasa tidak lagi memiliki ikatan kesejarahan, apalagi Tarusbawa bukan anak Linggawarman, melainkan seorang menantu dan bekas raja Sundapura.

Letak Sundapura

Tentang letak Sundapura jika dikaitkan dengan prasasti di Kampung Muara Cibungbulang dan Prasasti Kebantenan menimbulkan pertanyaan. Karena bisa ditafsirkan, bahwa perpindahan ibukota Tarumanagara dari Sundapura telah terjadi sejak masa Suryawarman. Selain itu, posisi letak prasasti Muara dahulu termasuk berada diwilayah kerajaan Pasir Muara.
Sundapura diduga keras berada di daerah Bekasi.
Didalam Pustaka Jawadwipa diterangkan mengenai lokasi Sundapura, :
"telas karuhun wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning tajyua Taruma. Tekwan ring usana kangken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwaprastawa saking Bratanagari".
(dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama Sundapura. Naman ini berasal dari negeri Bharata).

Pemisahan Galuh

Keinginan melepaskan diri dari Sundapura dicetuskan oleh Wretikandayun, penguasa Galuh. Padahal leluhur Wretikandyun sangat setia terhadap Tarumanagara, namun karena ada perubahan nama (mungkin juga adanya pemindahan ibukota Tarumanagara ke wilayah Sundapura) berakibat ia merasa perlu melepaskan diri.
Keinginan melepaskan diri ini bukan seuatu yang muskil untuk untuk dilaksanakan, mengingat Galuh telah merasa cukup kuat untuk melawan Tarumanagara, karena Galuh telah memiliki hubungan yang sangat baik dengan Kalingga, menikahkan Mandiminyak, putranya dengan Cucu Ratu Sima. Keinginan tersebut ia sampaikan melalui surat.

Isi surat dimaksud intinya memenjelaskan, bahwa :
Galuh bersama kerajaan lain yang berada di sebelah Timur Citarum tidak lagi tunduk kepada Tarumanagara dan tidak lagi mengakui raja Tarumanagara sebagai ratu. Tetapi hubungan persahabatan tidak perlu terputus, bahkan diharapkan dapat lebih akrab.
Wretikandayun memberikan ultimatum pula, bahwa Tarumanagara janganlah menyerang Galuh Pakuan, sebab angkatan perang Galuh tiga kali lipat dari angakatan perang Tarumanagara, dan memilki senjata yang lengkap. Selain itu Galuh juga memiliki bersahabat baik dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang siap memberikan bantuan kepada Galuh kapan saja.

Permintaan untuk memisahkan diri tersebut tidak akan dikabulkan jika terjadi jaman Purnawarman. Namun berdasarkan perhitungan Tarusbawa, pasukan Tarumanagara yang ada saat ini dibandingkan pasukan Galuh masih seimbang, sehingga sulit untuk memenangkan peperangan. Tarusbawa juga termasuk raja yang visioner dan cinta damai. Ia memilih mengelola setengah kerajaan dengan baik dibandingkan mengelola seluruh kerajaan dalam keadaan lemah.

Pada cerita berikut dikisahkan, : akhirnya Tarusbawa menerima tuntutan Wretikandayun. Dan memecah kerajaan menjadi dua, sesuai dengan permintaan Wretikandayun. Dengan menggunakan Citarum sebagai batas negaranya.

Dalam tahun 670. berakhirlah Tarumanagara sebagai kerajaan yang menguasai seluruh Jawa Barat. Namun muncul dua kerajaan. Disebalah barat Citarum menjadi kerajaan Sunda, sedangkan disebelah timur Citarum berdiri kerajaan Galuh (Parahyangan).
Cag heula.

KENDAN
Sejarah Jawa Barat mencatat eksisntensi KENDAN sebagai kerajaan disebut-sebut ada sejak tahun 536 sampai dengan 612 M.
Kendan berubah nama menjadi Galuh (permata) ketika masa Wretikandayun, penerus Kendan menyatakan diri melepaskan diri dari Tarumanagara. Karena Terusbawa merubah Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (pura).
Sejak tahun 670 M ditatar sunda dianggap ada dua kerajaan kembar, yakni Sunda Pakuan dan Sunda Galuh.

Nama KENDAN seolah tenggelam dalam kebesaran nama Galuh, sangat jarang diketahui masyarakat tentang wilayah dan kesejarahannya, kecuali beberapa masyarakat yang berminat mendalami sejarah Sunda. Bagi sejarawan sunda eksistensi KENDAN tidak dapat dilepaskan dari Galuh. KENDAN danggap cikal bakal Galuh.
Bahkan sejarawan Sumedang di Musium Prabu Geusan Oeloen membedakan Galuh Kendan dengan Galuh Kawali.

Letak KENDAN

KENDAN didalam catatan sejarah Jawa Barat diperkirakan terletak disuatu daerah diwilayah Kabupaten Bandung, ditepi sebuah bukit (KENDAN), + 500 meter sebelah timur stasiun kereta api Nagreg.
Terdapat daerah hunian yang bernama Kampung Kendan, Desa Citaman, Kecamatan Cicalengka.
Namun berdasarkan on the spot, letak KENDAN berada di sebelah barat stasiun nagreg dan termasuk Desa Nagreg.
Disekitar Nagreg dan Citaman ditemukan pula suatu tempat yang disebut masyarakat sekitarnya "tempat pamujaan", Sayang istilah tempat pamuajaan dalam paradigma masyarakat sunda dewasa ini dikonotasikan negatif, karena sering digunakan "pamujaan", suatu cara meminta harta kekayaan kepada mahluk gaib, dan dianggap menyekutukan Tuhan. Sama dengan istilah pesugihan.

Nama KENDAN lebih dikenal dalam dunia arkeologi, identik sebagai pusat industri perkakakas neolitik pada jaman purbakala.
Batu Kendan sudah lama disebut-sebut dalam dunia kepurbakalaan. Disinyalir daerah Kendan sudah ramai dihuni penduduk sejak sebelum tarikh masehi.
Pasir batu bukit KENDAN sampai saat ini masih di ekspoitasi penduduk setempat, karena mengandung bahan perekat yang sangat cocok untuk pembuatan gerabah. Haji Atang pemilik bukit itu sekarang, memanfaatkan bukit kendan untuk dijadikan bahan campuran bata merah. Konon kabar menurut cerita Pak Anang, keponakan Haji Atang, pada waktu jaman belanda kakeknya mengeksploitasi tanah KENDAN untuk dikirim ke Belanda dari stasiun Nagreg melalui Pelabuhan Surabaya, bahkan pembangunan gedung sate dan gedung lainnya di kota Bandung disinyalir menggunakan bahan dari bukit KENDAN.
Kemudian pernah ditemukan sebuah patung kecil.
Para akhli sejarah menyebutnya patung Dewi Durgi. (saat ini disimpan dimusium Jakarta). Sedangkan di dalam prasasti Jayabupati disebutkan, bahwa :
kekuatan Durgi dianggap kekuatan Gaib. Dalam cerita Lutung Kasarung, Nini Dugi dianggap berasal dari Kanekes.
Keberadaan patung Durga ditempat pamujaan menimbulkan spekulasi dari beberapa akhli sejarah.
Pleyte (1909) mensinyalir daerah tersebut termasuk daerah "Kabuyutan". Sama dengan daerah Mandala, atau Kabuyutan yang ada diwilayah Cukang Genteng, dekat Ciwidey Kabupaten Bandung.

Kerajaan KENDAN disebut-sebut dalam Naskah Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta. Disinyalir kedua sumber ini berasal dari Pararatwan Parahyangan, naskah tersebut saat ini tidak diketahui rimbanya.
Namun karena dijadikan sebagai naskah rujukan maka Pararatwan Parahyangan dipastikan keberadaannya lebih tua dari Naskah Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta. Pendiri Kendan

Naskah Wangsakerta yang disusun pada abad tujuh belas menjelaskan Kendan didirikan oleh Sang Manikmaya, ia berasal dari keluarga Calankayana, India. Ia menetap di Kendan sebagai resi.
Karena memiliki agama yang sama dengan raja Tarumanagara dan penyembah Wisnu, Manikmaya kemudian dinikahkan dengan Dewi Tirtakancana, putri Suryawarman, raja Tarumanagara.
Istilah atau sebutan Manikmaya dalam kehidupan masyarakat sunda sangat familir dan dikenal dari nama Tokoh Dewa didalam cerita Mahabarata. Sehingga banyak runtutan Kisah yang menghubungkan sejarah para leluhurnya dengan tokoh pewayangan.
Sebelum Sang Manikmaya ketika tiba di KENDAN, dipastikan daerah tersebut sudah ada kehidupan, sebagaimana ditemukannya gerabah yang diketahui berumur pada era sebelum tarikh masehi. Hal ini menjadi sangat masuk akal mengingat perkenalan Sang Manikmaya, pendiri KENDAN dengan penguasa Tarumanara terjadi setelah ia berada di KENDAN dalam kapasitasnya sebagai resi. Dengan demikian sejarah hampir sama dengan terbentuknya Salakanagara.
Sang Manikmaya berkuasa di KENDAN sejak 458 Saka (536 M) sampai dengan 490 Saka (568 M). Pada waktu itu KENDAN mendapat proteksi dari Tarumanagara, karena dianggap wilayah Tarumanagara.
Pendirian KENDAN jika diurut kesejarahannya sebagai hadiah dari Suryawarman, raja Tarumanagara. Pada saat pendirian KENDAN, Tarumanagara ikut menyebarkan keberadaan Sang Manikmaya keseluruh negara daerah yang ada diwilayah tersebut.
Pembentukan KENDAN sama halnya dengan kisah Tarumanagara, semula berada di Wilayah Salakanagara, kemudian pendiri Tarumanagara, Sang Rajadirajaguru (Jayasingawarman) menikahi Minawati Iswati Tunggal Pertiwi, putri Dewawarman VIII. Sekalipun dalam perjalanannya selanjutnya, Salakanagara menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara, namun masih belum dapat diketahui, kecuali disebut-sebut Tarumanagara maju lebih pesat dibandingkan Salakanagara.
Mungkin juga jika Aki Tirem pada waktu itu jabatannya seorang raja, jalan cerita Salakanagara pun akan sama dengan cerita Tarumanagara dan Kendan.
Karena Dewawarman I menikahi Dewi Pohaci, putri Aki Tirem, kemudian menjadi Raja dan Rajaresi di Wilayah yang ia terima sebagai hadiah dari raja yang sekaligus memproteksinya dari gangguan luar.

Suatu hal yang sulit dipahami jika pada periode selanjutnya KENDAN melepaskan diri dari Tarumanagara. Karena KENDAN tidak mungkin menjadi kerajaan yang utuh jika Suryawarman tidak menghadiahi Sang Manikmaya suatu daerah (KENDAN) lengkap dengan rakyat dan tentaranya
Pemberian hadiah ini bukan hanya sekedar warisan mertua kepada menantunya, melainkan suatu bentuk hadiah dari seorang sahabat dan orang yang dianggap berjasa menyebarkan agama di wilayah Tarumanagara.
Suryawarman juga menganggap Sang Manikmaya adalah Brahmana ulung dan berjasa terhadap agama.

Para penerus Manikmaya
Setelah Sang Manikmaya meninggal, ia digantikan Sang Suralim, putranya pada tahun 490 Saka (568 M). Sang Suralim, lebih mahir berperang dan banyak waktunya diabdikan sebagai Senapati dan Panglima Tarumanagara, sehingga ia bergelar Baladhika ning widyabala. Sang Suralim berkuasa selama 29 tahun. Kemudian digantikan Sang Kandiawan, putranya.

Lain halnya dengan ayahnya, Sang Kandiawan lebih dikenal karena hidupnya minandita, ia bergelar Rajaresi Dewaraja. Sebelum menggantikan ayahnya ia menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana, sehingga ia bergelar Rahyangta ri Medang Jati. Namun sebagai raja Kendan ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan tetap di Medang Jati. Hal ini dimungkinkan, mengingat di Kendan sudah dianggap terpengaruh oleh Siwaisme, sedangkan ia penyembah Wisnu, sehingga ia pun bergelar Batara Wisnu di Medang Jati.

Sang Kandiawan mempunyai lima orang putra, dan menjadikannya sebagai penguasa daerah yang berada diwilayah Kendan, yakni
Mangukuhan di kuli-kuli ;
Karungkalah di Surawulan ;
Katungmaralah di Peles Awi ;
Sandangreba di Rawunglangit ; dan
Wretikandayun didaerah Menir.

Berbeda dengan kisah tersebut, didalam Naskah Carita Parahyangan, kelima anak Sang Kandiawan dibedakan karena profesinya, bukan karena diberikan daerah kekuasaan, yakni Mangukuhan menjadi peladang ;
Karungkalah menjadi pemburu (panggerek) ; Katungmaralah menjadi penyadap ; Sandangreba menjadi pedagang ; sedangkan Wretikandayun menggantikan Sang Kandiawan menjadi penguasa KENDAN.
Sang Kandiawan menduduki tahta KENDAN selama 15 tahun, sejak tahun 597 Saka (612 M), kemudian ia mengundurkan diri untuk bertapa di Layuwatang (Kuningan), kemudian digantikan Wretikandayun, putra bungsunya.
Pertimbangan Sang Kandiawan menyerahkan kekuasaan KENDAN kepada Wretikandayun tentunya membuahkan pertanyaan besar, karena ia bukan anak pertama, dalam tradisi raja-raja dahulu dianggap pihak yang paling berhak mewarisi tahta ayahnya.
Pewarisan demikian sebenarnya tidak bias "digebyah uyah", mengingat setiap orang ataupun komunitas memiliki cirri khas yang mandiri dan berbeda dengan yang lainnya.
Bisa saja pemilihan Wretikandayun berdasarkan pada tradisi KENDAN karena ia lebih minandita dibandingkan dengan saudara-sudaranya lainnya yang lebih banyak memprioritaskan urusan yang bersifat keduniaan. Alasan ini dapat juga ditenggarai dari sejarah keberadaan KENDAN, yakni suatu wilayah Karesian yang dihadiahkan Suryawarman, raja Tarumanagara kepada Sangresi Manikmaya
Namun untuk sekedar alasan, mungkin jawabannya dapat diketahui dari Carita Parahyangan, tentang lomba menombak Kebowulan.
Carek sang Mangukuhan: "Nam adi-adi sadaya urang moro ka tegalan."
Sadatang ka tegalan, kasampak Pwah Manjangandara reujeung Rakean Kebowulan. Diudag ku limaan, sarta beunangna pada jangji, yen saha anu pangheulana keuna numbakna, nya manehna piratueun.
Keuna ditumbak ku Sang Wretikandayun, Kebowulan jeung Pwah Manjangandara teh.
Kebowulan lumpat ka patapan, sadatangna hos bae paeh.
Ku Sang Wretikandayun dituturkeun, kasampak pwah Bungatak Mangalengale keur nyusu ka Pwah Manjangandara.
Pwah Bungatak Mangalengale teh ku Sang Wretikandayun di bawa mulang ka Galuh, ka Rahiangta di Medangjati.
Rahiyangan di Medangjati lawasna ngadeg ratu limawelas taun.
Diganti ku Sang Wretikandayun di Galuh, bari migarwa Pwah ngatak Mangalengale.

Tradisi penurunan tahta kepada anak bungsu bukan sesuatu yang dilarang didalam tradisi KENDAN, karena Wretikandayun didalam episode Galuh - Kawali mewariskan tahtanya kepada Amara (Mandiminyak), putra bungsunya.
Namun memang timbul peristiwa Purbasora dan Sanjaya generasi pasca Wretikandayun. Peristiwa inipun tidak berhenti hanya pada satu generasi, karena jika ditelaah berbuntut pada peristiwa Manarah, yang dikenal dalam sejarah lisan sebagai Ciung Wanara.
Penyerahan tahta kepada anak bungsu raja terjadi pula pasca Manarah, yakni dalam peristiwa Manistri, atau dikenal dalam cerita Lutung Kasarung.
Manarah menyerahkan kekuasaannya kepada Purbasari, sedang Purbasari masih memiliki kakak perempuan lainnya, antara lain Purbalarang.
Ceritapun berbuntut pada kisah rebutan kekuasaan. Berkat bantuan Sang Lutung (Manistri) akhirnya Purbasari dapat memperoleh kekuasaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar